martedì 12 febbraio 2013

Surat Gembala Uskup Maumere Dalam Rangka Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Sikka dan Gubernur NTT, 18 Maret 2013

Saudara - saudari, rekan-rekan imam, biarawan – biarawati dan  umat sekalian yang terkasih 
Salam dan damai sejahtera Allah senantiasa besertamu semua.
Pada tanggal 18 Maret tahun 2013,  kita akan mengambil bagian dalam kegiatan Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Sikka dan Gubernur NTT. Berkenaan dengan kedua peristiwa ini, saya ingin meminta perhatian saudara-saudari, umatku sekalian   mengenai ajaran Gereja katolik yang sangat relevan dan menjadi  tantangan bagi  kita dalam menghadapi kegiatan politik saat ini.
Yesus dan Politik
Di tengah gemuruh perjuangan politik pada masanya, Tuhan Yesus, Sang Anak manusia, menentang godaan untuk menjadi seorang mesianik politik. Yesus tidak berjuang untuk posisi politik tertentu dan tidak mendukung calon tertentu. Ia tidak termasuk dalam kelompok para Imam, Rabi, Ahli Taurat, Farisi atau pejabat tertentu dalam kekuasaan Romawi.  Ia menggabungkan diri dengan orang kebanyakan. Ia  mengatakan : "KerajaanKu bukan dari dunia ini" (Yoh 18:36). Ketika sekelompok orang datang untuk memaksaNya menjadi Raja, Yesus menyingkir ke gunung (Yoh 6:15). Ia berkata : “Aku  datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa sebagai tebusan bagi banyak orang" (Mk 10, 45; Mt 20:24-28; Lk 22: 24-27). 
Karya misi Yesus dimulai setelah 40 hari berpuasa dan mengalami 3 godaan utama. Dan salah satunya sangat berhubungan dengan politik. Iblis membawa-Nya  ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya, dan berkata kepada-Nya: "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku." Maka berkatalah Yesus kepadanya: "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!" (Mt. 4: 8-10).
Godaan ini berhubungan dengan misi Yesus dalam perjuanganNya untuk  membangun Kerajaan Allah di dunia. Setan menawarkan kepemimpinan  yang gilang gemilang dan instan, tanpa melewati penderitaan asal loyal kepadanya, mengakui kekuasaannya dan bergantung penuh kepadanya. Ia juga tidak menuntut untuk melaksanaan segala proses kepemimpinan  di depan publik, melainkan secara tersembunyi, hanya dia bersama  dengan Yesus. Tetapi secara tegas Yesus menolak semuanya itu  dan mengingatkan setan akan apa yang telah diingatkan oleh Yahweh kepada umat Israel, yakni tidak ada pemimpin lain yang lebih tinggi dan berkuasa yang harus disembah selain  Allah sendiri (Ulangan 6: 1-25, II Raja-Raja 17: 35-40). Bahkan dalam Injil yang sama  Yesus juga  mengingatkan para muridNya dan kita sekalian, bahwa kita tidak boleh mengabdi kepada dua tuan yaitu kepada  Allah dan kepada mamon" (Mt 6:24).  "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?" (Mt. 16: 26)
Ketika dihadapkan dengan pertanyaan : Apakah boleh membayar pajak kepada Kaiser atau tidak ? Yesus menjawab : "Berikanlah kepada Kaiser apa yang menjadi hak Kaiser, dan  kepada Allah apa yang menjadi hak Allah.” (Mk 12: 13-17; Mt 22: 15-22; Lk 20:20-26). Dengan ini, Yesus tidak menolak otoritas negara, tetapi secara implisit Ia mengecam keyakinan dan sikap yang mengilahikan atau mengabsolutkan kekuasaan yang pada dasarnya bersifat sementara.
 Ada godaan di kalangan umat kristiani untuk melihat Yesus sebagai pribadi yang apolitis, hanya mengurus kehidupan spiritual. Tetapi sesungguhnya perjuangan Yesus tidak hanya berkaitan dengan  hal-hal itu, melainkan juga berhubungan dengan aspirasi orang kebanyakan, kebebasan para warga dari segala bentuk penindasan, kesetaraan dan pembentukan komunitas persaudaraan.  Karena di dalam komunitas yang bersaudara, di mana orang-orang kecil diperhatikan, tidak adanya penindasan dalam segala bentuknya, di sana Kerajaan Allah akan sungguh menampakkan diriNya.
Sebagai orang yang pernah menjadi pelarian politik (Mt 2: 14-15), dan atas dasar pengalaman selama karyaNya, Yesus sungguh yakin untuk menolak semua bentuk kekuasaan yang absolut dan menindas, kekuasaan yang korup dan mengabaikan kepentingan orang banyak, khususnya mereka yang miskin (Mt 23, Mk 12: 38-40, Luk 11: 37-54, 20: 45-47).  Secara lugas Yesus menunjukkan situasi yang dihadapi masyarakat dan secara publik mengecam penindasan sebagai kenyataan yang bertentangan dengan kehendak Allah. 
Berbeda dari para pemimpin yang congkak, Yesus senantiasa lemah lembut dan rendah hati. Ia berkata : "Marilah kepadaKu, semua yang letih lesuh dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Mt 11: 28). Ia memberdayakan orang kebanyakan untuk memimpikan suatu masyarakat baru dan berjuang untuk mengembangkan masyarakat alternatip (tandingan). Dalam artian ini, Ia memaklumkan Kerajaan Allah, kabar baik untuk orang-orang miskin, kesembuhan bagi yang sakit, kegembiraan bagi yang berduka, dan pelepasan bagi para tawanan. Situasi baru ini haruslah menjadi kenyataan sehari-hari, sebagai "Kerajaan Allah di atas bumi sebagaimana di dalam surga" (Bdk. Doa Bapa Kami).
Perjuangan Yesus ini menempatkanNya dalam pertentangan dengan para penguasa. Yesus mengingatkan para murid dan orang banyak untuk berhati-hati terhadap para pemimpin yang "menduduki kursi Musa" tetapi munafik (Mt 23: 1-5), yang dikecamNya sebagai kubur-kubur yang dilabur putih (Mt 23: 27), korup, dan penindas kaum miskin atas nama Allah.   Tentu tidak semuanya demikian. Ada sejumlah pejabat yang baik dan berhati mulia, seperti  Nikodemus (Yoh 3,7,19), dan Ahli Taurat yang oleh Yesus disebut "tidak jauh dari Kerajaan Allah" (Mt 12: 28-34). Tetapi kebanyakan yang lain, seperti Kayafas (Yoh 11: 49-50; 18:14), tidak lebih dari "orang buta menuntun orang buta" (Mt 15:14).
Selama hidup dan karyaNya, Yesus bertindak sebagai orang yang memiliki kuasa atau otoritas.  Penginjil Yohanes memberikan kesaksian bahwa, "belum pernah seorang manusia berkata seperti orang itu" (Yoh. 7: 46).  Kredibilitas Yesus sebagai pemimpin lahir dari  kedekatanNya yang istimewa dengan Allah; Memiliki orientasi yang utama kepada manusia, khususnya kepada kaum tertindas; Bebas dari segala bentuk ikatan; Memiliki  keselarasan antara perkataan dan tindakan.
Bisa dimengerti kalau Yesus tetap berikap kritis terhadap para pemimpin dengan taruhan nyawaNya sendiri. Ia mendorong para pengikutNya untuk berani memperjuangkan Kerajaan Allah, walaupun untuk itu mereka harus berkorban. Dalam Kotbah di Bukit, Ia memaklumkan, "Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya, dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat" (Mt 5: 11). 
Gereja dan Politik
Saudara - saudari, rekan-rekan imam, biarawan – biarawati dan  umat sekalian yang terkasih
Dengan inspirasi dari perjuangan Yesus, para pengikutNya menyebut diri Ekklesia. Dalam Bahasa Indonesia, kita terjemahkan dengan sebutan Gereja.  Kata Ekklesia ini berasal dari bahasa Yunani, dan mengandung arti "perkumpulan publik dari komunitas politik," atau "perkumpulan demokratis dari warga negara" sebagaimana negara-negara kota di masa Yunani Kuno.  Tetapi berbeda dari  Ekklesia  Yunani, Ekklesia Kristiani melampaui segala batasan, termasuk para hamba, sebagaimana yang ditulis oleh St. Paulus :Karena kamu semua yang dibabtis dalam Kristus  telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”  (Gal 3: 27-28).
Dengan model masyarakat seperti inilah Gereja menjadi alternatip (tandingan) terhadap struktur kemasyarakatan pada masa itu, dan tentu saja pada massa sekarang. Seperti dulu banyak hamba menjadi anggota Gereja didorong oleh mimpi kesetaraan dan kebebasan, sekarang pun Gereja akan tetap menarik bagi sebagian besar orang yang terus ditindas oleh struktur ekonomi dan politik, sosial dan budaya, bahkan oleh Gereja sendiri.
Sebagai komunitas pembebasan Gereja terlibat dalam seluruh aspek perjuangan hidup manusia baik ekonomi, politik, hubungan sosial, maupun budaya. Dalam Surat Gembala untuk Sinode I, saya mengundang saudara-saudari semua untuk memikirkan dan memberi bentuk kepada Gereja Keuskupan kita,  Paroki dan Komunitas –komunitas Umat  Basis sebagaimana yang dikehendaki oleh Yesus, agar komunitas-komunitas kita sungguh-sungguh menjadi tanda hidup dari pembebasan Allah pada mileneum ini.
Dalam kerangka ini, keterlibatan Gereja dalam politik merupakan satu keharusan. Inilah salah satu jalan di mana perjuangan Yesus dihadirkan kembali di dalam dunia demi membangun masyarakat yang adil dan manusiawi sesuai dengan nilai-nilai Kristiani yang kita yakini. Konggregasi Ajaran Iman, dalam Nota doktrinalnya pada tanggal 24 November 2002, memberikan petunjuk kepada kita sebagai berikut: "dalam masyarakat demokratis, peran setiap warga dalam politik adalah sesuatu yang harus. Kehidupan demokrasi tidak akan berkembang tanpa keterlibatan yang aktip dan bertanggungjawab dari setiap orang."
Tentu saudara-saudari sekalian sudah sering mendengar sejumlah orang mengatakan : "Gereja campur tangan dalam urusan politik dan mengabaikan misinya." Untuk sebagian orang, pernyataan ini muncul dari ketidakmengertiannya tentang hakekat dan misi Gereja; dan untuk sebagian yang lain, lahir dari upaya untuk mendiamkan suara profetis Gereja yang tidak sejalan dengan kepentingan-kepentingan mereka yang sempit. Karena itu saya ingin menegaskan sekali lagi, bahwa keterlibatan  Gereja dalam politik adalah sesuatu  keharusan sesuai dengan hakekat dan misi Gereja.
Namun keterlibatan Gereja dalam politik bukanlah tanpa soal. Gereja Katolik memiliki sejarah panjang dalam hubungan dengan kedekatannya dengan negara dan kekuasaan politik. Lewat relasi dan dukungan dari kekuasaan, Gereja memperluas kekuasaan dan pengaruhnya, sehingga menjadi sangat berkuasa. Di wilayah-wilayah di mana Gereja nampaknya  lemah, terutama secara finansial, sejumlah orang  cenderung bersandar kepada kekuasaan demi mendapatkan dukungan dana dan pengaruh. Situasi ini tentu memprihatinkan kita.
Karena itu, saya mendorong umatku sekalian  untuk memperhatikan lagi rambu-rambu yang ditetapkan oleh Gereja, khususnya mengacu kepada ajaran sosial Gereja dan dokumen-dokumen dari Konsili Vatikan II.  Paus Johanes Paulus II menggarisbawahi 3 prinsip dasar ajaran Gereja yang merangkum pelbagai rambu-rambu ini, yakni: martabat pribadi manusia, solidaritas dan subsidiaritas (Ecclesia in America, no. 55).
Tentang martabat pribadi Maunusia, Paus Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa manusia diciptakan menurut Gambar Allah, ditebus oleh Kristus, dan berziarah menuju persekutuan paripurna dengan Allah. Gereja Katolik memaklumkan bahwa hidup manusia itu kudus dan bahwa martabat pribadi manusia merupakan dasar dari cita-cita moral tentang masyarakat. Peran komunitas politik adalah menjamin hak-hak pribadi manusia dan peluang berkembangnya martabat pribadi manusia secara penuh.  Jaminan ini merupakan syarat mutlak supaya warga negara, masing-masing maupun secara bersama-sama, dapat berperan serta dalam kehidupan dan pemerintahan negara (GS, no.74).
 Lalu tentang solidaritas, Paus Yohanes Paulus II menjelaskan  bahwa gereja Katolik juga yakin bahwa manusia pada hakekatnya bersifat sosial. Manusia menyatu membentuk suatu komunitas atau masyarakat. Solidaritas merupakan prinsip dasar dalam perjuangan politik. Lewat solidaritas antar pribadi,  tujuan masyarakat bagi kebaikan bersama bisa tercapai. Karena itu, pertumbuhan pribadi manusia dan perkembangan masyarakat selalu saling berkaitan. Bagaimana kita mengatur masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya mempunyai pengaruh langsung kepada martabat pribadi manusia dan kemampuan orang perorangan untuk bertumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Kita percaya bahwa setiap orang memiliki hak-hak dan tugas-tugas dalam mengembangkan masyarakat serta secara bersama-sama memperjuangkan kesejahteraan bersama. Tugas komunitas politik adalah mengembangkan solidaritas antar warga demi kebaikan bersama,  bukan memperjuangkan  kepentingan orang perorangan atau kelompok tertentu, apa lagi kalau dijalankan secara tidak halal. 
Berdasarkan  dua prinsip di atas yaitu keluhuran martabat manusia dan solidaritas,  maka perjuangan politik  harus dimaksudkan untuk menegakkan Hak asasi manusia dan kesejahteraan bersama. Gereja Katolik mengajarkan bahwa hak-hak asasi dapat dan harus dilindungi. Suatu masyarakat yang sehat hanya dapat diperjuangkan kalau hak-hak asasi manusia dilindungi dan tanggungjawab masing-masing pihak dijalankan. Di samping hak hidup sebagai hak dasar, setiap warga negara memiliki hak-hak lain yang mendukung kehidupan yang bermartabat. Di pihak lain ada kewajiban dan tanggungjawab yang harus dijalankan demi kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Sedangkan tentang subsidiaritas, Paus Yohanes Paulus II menjelaskan juga bahwa ujian moral yang paling penting untuk penghargaan terhadap pribadi manusia dan solidaritas dalam masyarakat adalah perhatian kita kepada orang miskin dan terpinggirkan. Di dalam masyarakat yang semakin terpecah ke dalam kelompok kaya dan miskin, Gereja mendorong kita untuk melakukan pilihan utama kepada orang-orang miskin. Dalam kata-kata Paus Johanes Paulus II, pilihan utama kepada kaum miskin mempengaruhi "baik hidup kita setiap hari maupun keputusan-keputusan kita dalam bidang politik dan ekonomi" (Sollicitudo Rei Socialis, No. 42).
            Karena itu pemerintah berkewajiban untuk menghargai, dan melindungi hak-hak warga negara serta memajukan kesejahteraan bersama. Dalam semua upaya ini, harus dihargai kemampuan pribadi dan kelompok. Bila kelompok yang lebih kecil mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, campur tangan negara tidak dibutuhkan. Pemerintah hanya boleh bertindak ketika masalah-masalah tidak dapat diselesaikan di tingkat lokal atau kelompok. Inilah prinsip subsidiaritas yang ditekankan oleh Gereja. Prinsip ini berlaku juga untuk lembaga-lembaga lain, termasuk dunia perusahaan.
Berkaitan dengan prinsip ini, perlu diperhatikan  pula hubungan antara pelbagai strata dalam negara: Pusat, (Propinsi), Kabupaten, dan Desa. Tidak perlu semua hal harus diurus oleh pusat atau oleh Kabupaten, kalau komunitas di Desa - Desa bisa mengaturnya sendiri. Kecenderungan sentralisme harus dikurangi, juga dalam proyek-proyek pembangunan yang menghabiskan banyak anggaran, tetapi melulu mengalir kepada para pemilik modal ( pengusaha, kontraktor, dll ) dan bukan untuk kepentingan orang-orang di Desa di mana proyek itu dikerjakan.
Sikap Kita
Saudara - saudari, rekan-rekan imam, biarawan – biarawati dan  umat sekalian yang terkasih 
Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Sikka dan Gubernur NTT nanti kita berurusan dengan 2 hal penting. Pertama, pengembangan sistem politik yang lebih baik, yang dapat menjamin penghormatan terhadap harkat pribadi manusia, dan kesejahteraan bersama, khususnya peningkatan kesejahteraan sebagian besar warga kita yang masih miskin. Kedua,  Pemilihan Kepala Daerah, diharapkan dapat menghasilkan pemimmpin yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk menyelenggarakan satu pemerintahan yang bersih, dan mendukung nilai-nilai yang kita anut.
            Kiranya saudara-saudari secara bebas dan bertanggunjawab terlibat dalam hajatan politik ini sambil  memperhatikan rambu-rambu yang telah disampaikan di atas. Acuan yang diajarkan oleh Gereja ini menjadi lebih penting lagi pada saat ini ketika rakyat kebanyakan hanya dimobilasi untuk kepentingan politik segelintir orang, politik uang yang merasuk sampai ke Desa-Desa, sangat lemahnya lembaga-lembaga pengawas, suku dan agama sering ditunggangi oleh segelintir elite untuk kepentingan politik sesaat, tidak adanya pemberdayaan politik secara bermutu dan berkelanjutan bagi warga masyarakat, berkembangnya apatisme politik di kalangan warga,  kesejahteraan rakyat yang belum sungguh diperhatikan dalam penyelenggaraan negara, dan korupsi yang terus merajalela di tengah penegakan hukum yang sangat lemah.
            Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip di atas, saya menyerukan kepada saudara-saudari semua untuk:
1)   Terlibat secara aktip dalam kegiatan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Sikka dan Gubernur NTT. Pastikan bahwa anda terdaftar sebagai pemilih, terlibat dalam kegiatan pemilihan, dan ikut mengkawal prosesnya. Sadarlah bahwa pembaharuan dan perubahan tidak jatuh dari langit, melainkan hasil usaha bersama dalam semangat solidaritas.
2)   Tidak terlibat dalam praktek politik uang.
3)   Tidak menyebarkan isu-isu dan bersikap kritis terhadap isu-isu yang disebarkan.  Berdiskusilah secara dewasa di dalam KUB, Stasi, Paroki dan di pelbagai kelompok kategorial;  serta secara bebas menentukan pilihanmu, tanpa tekanan dari pihak manapun.
4)   Tidak tergoda untuk kepentingan jangka pendek, memilih orang tertentu, demi uang atau karena calon berasal dari suku atau agama yang sama. Berpikirlah dan bekerjalah untuk perubahan yang lebih berkelanjutan dan jangka panjang.
5)   Saya menganjurkan kepada  para pastor paroki untuk bekerjasama dengan rekan-rekan fungsionaris pastoral lainnya, lembaga-lembaga Gereja, dan organisasi lain serta orang-orang yang berkehendak baik, merancang dan melakukan kegiatan pemberdayaan politik di KUB-KUB, agar umat Katolik dan siapa saja yang bersimpati,  secara sadar dan bertanggungjawab mengembangkan komunitas politik di wilayah ini sesuai dengan nilai-nilai Kristiani.
6)   Pilihlah pemimpin yang sungguh-sungguh mampu dan mempunyai komitmen untuk memperjuangkan prinsip-prinsip politik yang kita dukung. Untuk itu saudara-saudari perlu memahami rekam jejak politik masing-masing calon.
7)   Hendaknya saudara-saudari tidak boleh memilih calon-calon yang secara publik diketahui berdasarkan rekam jejak politiknya, berseberangan dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Gereja. Berkaitan dengan ini, saya meminta perhatian kalian secara khusus pada kasus-kasus korupsi yang terjadi di wilayah kita. Korupsi  merupakan salah satu sebab pokok keterbelakangan wilayah ini dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia.
8)   Para pastor,  birawan-biarawati tidak boleh menjadi anggota tim sukses dan menggiring umat untuk memilih pasangan calon tertentu.
9)   Saudara-saudari yang bekerja di media massa supaya kembali ke misi dasar dari media massa yakni memperjuangkan kepentingan publik dan secara kritis mengontrol pelbagai kekuatan yang bisa merugikan kepentingan masyarakat banyak, termasuk negara. Saya mengajak kalian semua untuk melakukan investigasi secara mendalam dan membuat pemberitaan secara kritis, tidak hanya sekedar mengikuti para pihak yang memberikan keuntungan sesaat.
Saudara - saudari, rekan-rekan imam, biarawan – biarawati dan  umat sekalian yang terkasih 
Kewajiban politik kita sebagai orang Katolik melampaui tugas untuk memilih pasangan calon tertentu. Partisipasi kita dalam politik hendaknya mentransformasikan partai politik di mana kita menjadi anggota, dan mensejahterakan masyarakat di mana kita hidup. Situasi saat ini menantang Gereja ( Uskup, Imam, dan kaum awam )  untuk sungguh-sungguh mempraktekkan apa yang diajarkan oleh Bunda Gereja dan memaklumkan pesan-pesan ini kepada semua pihak, semua kekuatan dan gerakan dalam masyarakat. Saya berdoa semoga rahmat Tuhan memampukan kita melaksanakan misi yang mulia ini.

Maumere , 28 Januari 2013,  
Pesta St. Thomas Aquino,  imam dan pujangga Gereja.
Teriring salam, doa dan berkatku
Uskupmu

+ Gerulfus Kherubim Pareira, SVD





Nessun commento:

Posta un commento