Saudara - saudari, rekan-rekan imam, biarawan –
biarawati dan umat sekalian yang
terkasih
Salam dan damai sejahtera Allah senantiasa besertamu
semua.
Pada tanggal 18 Maret tahun 2013, kita akan mengambil bagian dalam kegiatan Pemilihan Umum Kepala Daerah
Kabupaten Sikka dan Gubernur NTT. Berkenaan dengan kedua peristiwa ini, saya
ingin meminta
perhatian saudara-saudari, umatku sekalian
mengenai ajaran Gereja katolik
yang sangat relevan dan menjadi
tantangan bagi kita dalam menghadapi kegiatan politik saat ini.
Yesus dan
Politik
Di tengah gemuruh perjuangan politik
pada masanya, Tuhan Yesus,
Sang Anak manusia, menentang godaan untuk menjadi seorang mesianik politik.
Yesus tidak berjuang untuk posisi politik tertentu dan tidak mendukung calon
tertentu. Ia tidak termasuk dalam kelompok para Imam, Rabi, Ahli Taurat, Farisi
atau pejabat tertentu dalam kekuasaan Romawi. Ia menggabungkan
diri dengan orang kebanyakan. Ia mengatakan : "KerajaanKu bukan dari
dunia ini" (Yoh 18:36). Ketika sekelompok orang datang untuk memaksaNya
menjadi Raja, Yesus menyingkir ke gunung (Yoh 6:15). Ia berkata :
“Aku datang bukan untuk
dilayani melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa sebagai tebusan bagi banyak orang" (Mk
10, 45; Mt 20:24-28; Lk 22: 24-27).
Karya misi Yesus dimulai setelah 40 hari berpuasa dan
mengalami 3 godaan utama. Dan salah satunya sangat berhubungan dengan politik. Iblis
membawa-Nya ke atas gunung yang sangat
tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya,
dan berkata kepada-Nya: "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau
sujud menyembah aku." Maka berkatalah Yesus kepadanya: "Enyahlah,
Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya
kepada Dia sajalah engkau berbakti!" (Mt. 4: 8-10).
Godaan ini berhubungan dengan misi Yesus dalam
perjuanganNya untuk membangun Kerajaan Allah di dunia. Setan menawarkan kepemimpinan yang gilang gemilang dan instan, tanpa melewati penderitaan asal loyal kepadanya, mengakui kekuasaannya dan bergantung penuh kepadanya. Ia juga tidak menuntut untuk melaksanaan
segala proses kepemimpinan di depan publik,
melainkan secara tersembunyi, hanya dia bersama dengan Yesus. Tetapi secara tegas Yesus menolak semuanya itu dan mengingatkan setan akan apa yang telah diingatkan
oleh Yahweh kepada umat Israel, yakni tidak ada pemimpin lain yang lebih
tinggi dan berkuasa yang harus disembah selain Allah sendiri (Ulangan 6: 1-25, II Raja-Raja 17:
35-40). Bahkan dalam Injil yang sama Yesus juga mengingatkan para muridNya dan kita
sekalian, bahwa kita tidak boleh mengabdi kepada dua tuan
yaitu kepada Allah dan kepada mamon" (Mt 6:24). "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh
dunia tetapi kehilangan nyawanya?" (Mt. 16: 26)
Ketika dihadapkan dengan pertanyaan : Apakah boleh
membayar pajak kepada Kaiser atau tidak ? Yesus menjawab : "Berikanlah kepada Kaiser apa yang
menjadi hak Kaiser, dan kepada Allah apa
yang menjadi hak Allah.” (Mk 12: 13-17; Mt 22: 15-22; Lk 20:20-26). Dengan ini, Yesus
tidak menolak otoritas negara, tetapi secara implisit Ia mengecam keyakinan dan
sikap yang mengilahikan atau mengabsolutkan kekuasaan yang pada dasarnya
bersifat sementara.
Ada godaan di kalangan umat
kristiani untuk
melihat Yesus sebagai pribadi yang apolitis, hanya mengurus kehidupan
spiritual. Tetapi sesungguhnya perjuangan Yesus tidak hanya berkaitan dengan hal-hal itu, melainkan juga berhubungan
dengan aspirasi
orang kebanyakan, kebebasan para warga dari segala bentuk penindasan,
kesetaraan dan pembentukan komunitas persaudaraan. Karena di dalam komunitas yang bersaudara, di
mana orang-orang kecil diperhatikan, tidak adanya penindasan dalam segala
bentuknya, di sana Kerajaan
Allah akan sungguh menampakkan diriNya.
Sebagai orang yang pernah menjadi pelarian politik (Mt
2: 14-15), dan atas dasar pengalaman selama karyaNya, Yesus sungguh yakin untuk
menolak semua bentuk kekuasaan yang absolut dan menindas, kekuasaan yang korup
dan mengabaikan kepentingan orang banyak, khususnya mereka yang miskin (Mt 23,
Mk 12: 38-40, Luk 11: 37-54, 20: 45-47).
Secara lugas Yesus menunjukkan situasi yang dihadapi masyarakat dan
secara publik mengecam penindasan sebagai kenyataan yang bertentangan dengan
kehendak Allah.
Berbeda dari para pemimpin yang congkak, Yesus
senantiasa lemah lembut dan rendah hati. Ia berkata : "Marilah kepadaKu, semua yang
letih lesuh dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Mt 11: 28). Ia
memberdayakan orang kebanyakan untuk memimpikan suatu masyarakat baru dan
berjuang untuk mengembangkan masyarakat alternatip (tandingan). Dalam artian
ini, Ia memaklumkan Kerajaan Allah, kabar baik untuk orang-orang miskin,
kesembuhan bagi yang sakit, kegembiraan bagi yang berduka, dan pelepasan bagi
para tawanan. Situasi baru ini haruslah menjadi kenyataan sehari-hari, sebagai
"Kerajaan Allah di atas bumi sebagaimana di dalam surga" (Bdk. Doa
Bapa Kami).
Perjuangan Yesus ini menempatkanNya
dalam pertentangan dengan para penguasa. Yesus mengingatkan para murid dan
orang banyak untuk berhati-hati terhadap para pemimpin yang "menduduki
kursi Musa" tetapi munafik (Mt 23: 1-5), yang dikecamNya sebagai
kubur-kubur yang dilabur putih (Mt 23: 27), korup, dan penindas kaum miskin
atas nama Allah. Tentu tidak semuanya
demikian. Ada sejumlah pejabat yang baik dan berhati mulia, seperti Nikodemus (Yoh 3,7,19), dan Ahli Taurat yang
oleh Yesus disebut "tidak jauh dari Kerajaan Allah" (Mt 12: 28-34).
Tetapi kebanyakan yang lain, seperti Kayafas (Yoh 11: 49-50; 18:14), tidak
lebih dari "orang buta menuntun orang buta" (Mt 15:14).
Selama hidup dan karyaNya, Yesus bertindak sebagai orang
yang memiliki kuasa atau otoritas. Penginjil Yohanes
memberikan kesaksian bahwa, "belum pernah seorang manusia berkata seperti
orang itu" (Yoh. 7: 46).
Kredibilitas Yesus sebagai pemimpin lahir dari kedekatanNya yang istimewa dengan Allah; Memiliki orientasi yang utama kepada manusia,
khususnya kepada kaum
tertindas; Bebas
dari segala bentuk ikatan; Memiliki keselarasan antara perkataan
dan tindakan.
Bisa dimengerti kalau Yesus tetap berikap kritis
terhadap para pemimpin dengan taruhan nyawaNya sendiri. Ia mendorong para
pengikutNya untuk berani memperjuangkan Kerajaan Allah, walaupun untuk itu
mereka harus berkorban. Dalam Kotbah di Bukit, Ia memaklumkan,
"Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya, dan
kepadamu difitnahkan segala yang jahat" (Mt 5: 11).
Gereja dan
Politik
Saudara - saudari, rekan-rekan imam, biarawan –
biarawati dan umat sekalian yang
terkasih
Dengan inspirasi dari perjuangan
Yesus, para pengikutNya menyebut diri Ekklesia. Dalam Bahasa Indonesia, kita
terjemahkan dengan sebutan Gereja. Kata
Ekklesia ini berasal dari bahasa Yunani, dan mengandung arti "perkumpulan
publik dari komunitas politik," atau "perkumpulan demokratis dari
warga negara" sebagaimana negara-negara kota di masa Yunani Kuno. Tetapi berbeda dari Ekklesia
Yunani, Ekklesia Kristiani melampaui segala batasan, termasuk para hamba, sebagaimana
yang ditulis oleh St. Paulus : “Karena kamu semua yang dibabtis dalam Kristus telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak
ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak
ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus
Yesus.” (Gal 3: 27-28).
Dengan model masyarakat seperti inilah Gereja menjadi
alternatip (tandingan) terhadap struktur kemasyarakatan pada masa itu, dan
tentu saja pada massa sekarang. Seperti dulu banyak hamba menjadi anggota
Gereja didorong oleh mimpi kesetaraan dan kebebasan, sekarang pun Gereja akan
tetap menarik bagi sebagian besar orang yang terus ditindas oleh struktur
ekonomi dan politik, sosial dan budaya, bahkan oleh Gereja sendiri.
Sebagai komunitas pembebasan Gereja
terlibat dalam seluruh aspek perjuangan hidup manusia baik ekonomi, politik, hubungan
sosial, maupun
budaya. Dalam Surat Gembala untuk Sinode I, saya mengundang saudara-saudari
semua untuk memikirkan dan memberi bentuk kepada Gereja Keuskupan kita, Paroki dan Komunitas –komunitas
Umat Basis sebagaimana yang dikehendaki oleh Yesus, agar
komunitas-komunitas kita sungguh-sungguh menjadi tanda hidup dari pembebasan
Allah pada mileneum ini.
Dalam kerangka ini, keterlibatan Gereja dalam politik
merupakan satu keharusan. Inilah salah satu jalan di mana perjuangan Yesus
dihadirkan kembali di
dalam dunia demi membangun masyarakat yang adil dan manusiawi sesuai dengan
nilai-nilai Kristiani yang kita yakini. Konggregasi Ajaran Iman, dalam Nota
doktrinalnya pada tanggal 24 November 2002, memberikan petunjuk kepada kita
sebagai berikut: "dalam masyarakat demokratis, peran setiap warga dalam
politik adalah sesuatu yang harus. Kehidupan demokrasi tidak akan berkembang tanpa
keterlibatan yang aktip dan bertanggungjawab dari setiap orang."
Tentu saudara-saudari sekalian sudah
sering mendengar sejumlah orang mengatakan : "Gereja campur tangan dalam
urusan politik dan mengabaikan misinya." Untuk sebagian orang, pernyataan
ini muncul dari ketidakmengertiannya tentang hakekat dan misi Gereja; dan untuk
sebagian yang lain, lahir dari upaya untuk mendiamkan suara profetis Gereja
yang tidak sejalan dengan kepentingan-kepentingan mereka yang sempit. Karena
itu saya ingin menegaskan sekali lagi, bahwa keterlibatan Gereja dalam politik adalah sesuatu keharusan sesuai dengan hakekat dan misi
Gereja.
Namun keterlibatan Gereja dalam
politik bukanlah tanpa soal. Gereja Katolik memiliki sejarah panjang dalam hubungan dengan kedekatannya
dengan negara
dan kekuasaan politik. Lewat relasi dan dukungan dari kekuasaan, Gereja
memperluas kekuasaan dan pengaruhnya, sehingga menjadi sangat berkuasa. Di wilayah-wilayah
di mana Gereja nampaknya lemah, terutama secara
finansial, sejumlah orang cenderung
bersandar kepada kekuasaan demi mendapatkan dukungan dana dan pengaruh. Situasi
ini tentu memprihatinkan kita.
Karena itu, saya mendorong umatku
sekalian untuk memperhatikan lagi rambu-rambu yang
ditetapkan oleh Gereja, khususnya mengacu kepada ajaran sosial Gereja dan
dokumen-dokumen dari Konsili Vatikan II. Paus Johanes Paulus II menggarisbawahi 3 prinsip dasar ajaran
Gereja yang merangkum pelbagai rambu-rambu ini, yakni: martabat pribadi
manusia, solidaritas dan subsidiaritas (Ecclesia in America, no. 55).
Tentang
martabat pribadi Maunusia, Paus Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa manusia diciptakan menurut
Gambar Allah, ditebus oleh Kristus, dan berziarah menuju persekutuan paripurna
dengan Allah. Gereja Katolik memaklumkan bahwa hidup manusia itu kudus dan
bahwa martabat pribadi manusia merupakan dasar dari cita-cita moral tentang masyarakat. Peran
komunitas politik adalah menjamin hak-hak pribadi manusia dan peluang
berkembangnya martabat pribadi
manusia secara penuh. Jaminan ini
merupakan syarat mutlak supaya warga negara, masing-masing maupun secara
bersama-sama, dapat berperan serta dalam kehidupan dan pemerintahan negara (GS,
no.74).
Lalu tentang solidaritas, Paus Yohanes Paulus
II menjelaskan bahwa gereja Katolik juga yakin
bahwa manusia pada hakekatnya bersifat sosial. Manusia menyatu membentuk suatu komunitas atau masyarakat. Solidaritas
merupakan prinsip dasar dalam perjuangan politik. Lewat solidaritas antar
pribadi, tujuan masyarakat bagi kebaikan
bersama bisa tercapai. Karena itu, pertumbuhan pribadi manusia dan perkembangan
masyarakat selalu saling
berkaitan. Bagaimana kita mengatur
masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya mempunyai pengaruh
langsung kepada
martabat pribadi manusia dan kemampuan orang perorangan untuk bertumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Kita percaya bahwa setiap orang memiliki hak-hak dan
tugas-tugas dalam mengembangkan masyarakat serta secara bersama-sama memperjuangkan
kesejahteraan bersama. Tugas komunitas politik adalah mengembangkan solidaritas
antar warga demi kebaikan bersama, bukan
memperjuangkan kepentingan orang perorangan atau kelompok
tertentu, apa lagi kalau dijalankan secara tidak halal.
Berdasarkan dua prinsip di atas yaitu keluhuran martabat manusia dan
solidaritas, maka perjuangan politik harus dimaksudkan untuk menegakkan Hak asasi
manusia dan kesejahteraan bersama. Gereja Katolik mengajarkan bahwa hak-hak
asasi dapat dan harus dilindungi. Suatu masyarakat yang sehat hanya dapat
diperjuangkan kalau hak-hak asasi manusia dilindungi dan tanggungjawab
masing-masing pihak dijalankan. Di samping hak hidup sebagai hak dasar, setiap
warga negara memiliki hak-hak lain yang mendukung kehidupan yang bermartabat.
Di pihak lain ada kewajiban dan tanggungjawab yang harus dijalankan demi
kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Sedangkan
tentang subsidiaritas, Paus Yohanes Paulus II menjelaskan juga bahwa ujian moral yang paling penting untuk
penghargaan terhadap pribadi manusia dan solidaritas dalam masyarakat adalah
perhatian kita kepada orang miskin dan terpinggirkan. Di dalam masyarakat yang
semakin terpecah ke dalam kelompok kaya dan miskin, Gereja mendorong kita untuk
melakukan pilihan utama kepada orang-orang miskin. Dalam kata-kata Paus Johanes
Paulus II, pilihan utama kepada kaum miskin mempengaruhi "baik hidup kita
setiap hari maupun keputusan-keputusan kita dalam bidang politik dan
ekonomi" (Sollicitudo Rei Socialis, No. 42).
Karena itu pemerintah berkewajiban untuk
menghargai, dan melindungi hak-hak warga negara serta memajukan kesejahteraan
bersama. Dalam semua upaya ini, harus dihargai kemampuan pribadi dan kelompok.
Bila kelompok yang lebih kecil mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, campur
tangan negara tidak dibutuhkan. Pemerintah hanya boleh bertindak ketika
masalah-masalah tidak dapat diselesaikan di tingkat lokal atau kelompok. Inilah
prinsip subsidiaritas yang ditekankan oleh Gereja. Prinsip ini berlaku juga
untuk lembaga-lembaga lain, termasuk dunia perusahaan.
Berkaitan dengan prinsip ini, perlu diperhatikan pula hubungan antara pelbagai strata dalam negara: Pusat,
(Propinsi), Kabupaten, dan Desa. Tidak perlu semua hal harus diurus oleh pusat
atau oleh Kabupaten, kalau komunitas di Desa - Desa bisa mengaturnya
sendiri. Kecenderungan sentralisme harus dikurangi, juga dalam proyek-proyek
pembangunan yang menghabiskan banyak anggaran, tetapi melulu mengalir kepada para
pemilik modal ( pengusaha, kontraktor, dll ) dan bukan untuk kepentingan orang-orang
di Desa di mana proyek itu dikerjakan.
Sikap Kita
Saudara - saudari, rekan-rekan imam, biarawan –
biarawati dan umat sekalian yang
terkasih
Dalam Pemilihan Kepala Daerah
Kabupaten Sikka dan Gubernur NTT nanti kita berurusan dengan 2 hal penting.
Pertama, pengembangan sistem politik yang lebih baik, yang dapat menjamin penghormatan
terhadap harkat pribadi manusia, dan kesejahteraan bersama, khususnya
peningkatan kesejahteraan sebagian besar warga kita yang masih miskin. Kedua, Pemilihan Kepala Daerah, diharapkan dapat menghasilkan
pemimmpin yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk menyelenggarakan satu
pemerintahan yang bersih, dan mendukung nilai-nilai yang kita anut.
Kiranya saudara-saudari secara bebas
dan bertanggunjawab terlibat dalam hajatan politik ini sambil memperhatikan rambu-rambu yang telah
disampaikan di atas. Acuan yang diajarkan oleh Gereja ini menjadi lebih penting
lagi pada saat ini ketika rakyat kebanyakan hanya dimobilasi untuk kepentingan
politik segelintir orang, politik uang yang merasuk sampai ke Desa-Desa, sangat
lemahnya lembaga-lembaga pengawas, suku dan agama sering ditunggangi oleh
segelintir elite untuk kepentingan politik sesaat, tidak adanya pemberdayaan
politik secara bermutu dan berkelanjutan bagi warga masyarakat, berkembangnya
apatisme politik di kalangan warga, kesejahteraan
rakyat yang belum sungguh diperhatikan dalam penyelenggaraan negara, dan
korupsi yang terus merajalela di tengah penegakan hukum yang sangat lemah.
Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip
di atas, saya menyerukan kepada saudara-saudari semua untuk:
1) Terlibat secara aktip dalam
kegiatan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Sikka dan Gubernur NTT. Pastikan bahwa anda terdaftar sebagai
pemilih, terlibat dalam kegiatan pemilihan, dan ikut mengkawal prosesnya. Sadarlah
bahwa pembaharuan dan perubahan tidak jatuh dari langit, melainkan hasil usaha
bersama dalam semangat solidaritas.
2) Tidak terlibat dalam praktek
politik uang.
3) Tidak menyebarkan isu-isu dan
bersikap kritis terhadap isu-isu yang disebarkan. Berdiskusilah secara dewasa di dalam KUB, Stasi,
Paroki dan di pelbagai kelompok kategorial; serta secara bebas menentukan pilihanmu, tanpa tekanan dari
pihak manapun.
4) Tidak tergoda untuk kepentingan
jangka pendek, memilih orang tertentu, demi uang atau karena calon berasal dari
suku atau agama yang sama. Berpikirlah dan bekerjalah untuk perubahan yang
lebih berkelanjutan dan jangka panjang.
5) Saya menganjurkan kepada para pastor paroki untuk bekerjasama dengan
rekan-rekan fungsionaris pastoral lainnya, lembaga-lembaga Gereja, dan organisasi
lain serta orang-orang yang berkehendak baik, merancang dan melakukan kegiatan
pemberdayaan politik di KUB-KUB, agar umat Katolik dan siapa saja yang
bersimpati, secara sadar dan
bertanggungjawab mengembangkan komunitas politik di wilayah ini sesuai dengan
nilai-nilai Kristiani.
6) Pilihlah pemimpin yang
sungguh-sungguh mampu dan mempunyai komitmen untuk memperjuangkan
prinsip-prinsip politik yang kita dukung. Untuk itu saudara-saudari perlu
memahami rekam jejak politik masing-masing calon.
7) Hendaknya saudara-saudari tidak boleh memilih
calon-calon yang secara publik diketahui berdasarkan rekam jejak politiknya,
berseberangan dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Gereja. Berkaitan dengan
ini, saya meminta perhatian kalian secara khusus pada kasus-kasus korupsi yang
terjadi di wilayah kita. Korupsi
merupakan salah satu sebab pokok keterbelakangan wilayah ini
dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia.
8) Para pastor, birawan-biarawati tidak boleh menjadi anggota tim
sukses dan menggiring umat untuk memilih pasangan calon tertentu.
9) Saudara-saudari yang bekerja di
media massa supaya kembali ke misi dasar dari media massa yakni memperjuangkan
kepentingan publik dan secara kritis mengontrol pelbagai kekuatan yang bisa
merugikan kepentingan masyarakat banyak, termasuk negara. Saya mengajak kalian
semua untuk melakukan investigasi secara mendalam dan membuat pemberitaan
secara kritis, tidak hanya sekedar mengikuti para pihak yang memberikan
keuntungan sesaat.
Saudara - saudari, rekan-rekan imam, biarawan –
biarawati dan umat sekalian yang
terkasih
Kewajiban politik kita sebagai orang
Katolik melampaui tugas untuk memilih pasangan calon tertentu. Partisipasi kita
dalam politik hendaknya mentransformasikan partai politik di mana kita menjadi
anggota, dan mensejahterakan masyarakat di mana kita hidup. Situasi saat ini
menantang Gereja ( Uskup, Imam, dan kaum awam ) untuk sungguh-sungguh mempraktekkan apa yang
diajarkan oleh Bunda Gereja dan memaklumkan pesan-pesan ini kepada semua pihak,
semua kekuatan dan gerakan dalam masyarakat. Saya berdoa semoga rahmat
Tuhan memampukan kita melaksanakan misi yang mulia ini.
Maumere , 28 Januari 2013,
Pesta St. Thomas Aquino, imam dan pujangga Gereja.
Teriring salam,
doa dan berkatku
Uskupmu
+ Gerulfus
Kherubim Pareira, SVD
Nessun commento:
Posta un commento