giovedì 17 maggio 2012

PEMBERDAYAAN FUNGSIONARIS PASTORAL “YANG DIBAPTIS” : QUO VADIS ?

(Refleksi kecil atas 6 tahun KUM dan 50 tahun pasca Konsili Vatikan II)

1.   Pra-kata : Quo vadis?

Quo vadis Domine? Kemana pergi Tuan? Pertanyaan singkat Petrus - si Wadas untuk Sang Guru. Dan kepadanya diberikan jawaban tak terduga, “Eo Romam iterum crucifigi” – “Aku mau ke Roma untuk disalibkan kedua kalinya”. Suatu jawaban tantangan, yang melahirkan pembaruan radikal bagi Petrus sang Batu Karang yang saat itu sedang ciut nyali-nya berhadapan dengan penyiksaan yang ditanggung komunitas Kristen dibawa penindasan Nero kala itu.
Quo vadis Domine? Pertanyaan kecil di ujung setapak pelarian diri itu, lalu menghantar Petrus ke tiang salib pertobatan. Dengannya ia rela disalibkan sebagaimana Sang Guru, malah dengan lebih radikal: kepala ke bawah, menjuntai tanah.
Quo vadis Domine? Mungkin juga menjadi pertanyaan bagi kripra pastoral yang sedang kita jalani. Quo vadis pemberdayaan fungsionaris pastoral kita?
Sebutan atau panggilan “fungsionaris pastoral” sudah bergema di se-antero wilayah Keuskupan Agung Ende: Bajawa, Ende, Maumere, sejak tahun 2000 ketika KAE menyelenggarakan MUSPAS IV di Maumere (kala itu Maumere masih merupakan bagian tak terpisahkan dari KAE). Sebutan itu sejalan dengan gencarnya KAE menjadikan KUB (Komunitas Umat Basis) sebagai focus dan  lokus karya pastoral pemberdayaan.
Gaung “pemberdayaan” makin nyaring terasa ketika KAE kembali menggelar MUSPAS ke-V, 2005 di Mataloko. Dari sana berkumandang seruan “Pemberdayaan KUB dan Fungsionaris Pastoral” sebagai ujung tombak karya pastoral pembebasan integral di seluruh wilayah KAE.
MUSPAS V lalu membidani kelahiran sebuah sebutan baru bagi para fungsionaris pastoral, dengan memakai imbuhan “ter-“ untuk membedakan dua golongan/kelompok para fungsionaris pastoral, demi menghindari penggunaan kata “awam” yang dinilai bernuansa negatif. Maka lahirlah sebutan “Fungsionaris pastoral ter-baptis dan fungsionaris pastoral ter-tahbis.” (penulisan imbuhan “ter-“ pada kalimat di atas sengaja dipisahkan untuk menunjukan perbedaan pengertiannya - red-.)
Setelah kurang lebih enam tahun setelah MUSPAS V dan Maumere telah menjadi Keuskupan sendiri, mandiri, terpisah dari Ende, – meskipun “ia lahir dari ranting yang sama” – Maumere toh telah menjadi sebuah keuskupan yang otonom dengan berbagai persoalan pastoralnya sendiri. Dan KAE pun telah menyelenggarakan MUSPAS-nya yang ke-VI (tentu kali ini tanpa Maumere), sebutan fungsionaris pastoral ter-baptis dan ter-tahbis, tetap menggema di dua wilayah keuskupan ini. Pertanyaan yang kini lahir adalah apa benar pemakaian imbuhan “ter-“ pada kalimat di atas bisa mengeliminasi kesan negatif pada kata “awam”? Atau malah melahirkan sebuah pemahaman yang salah kaprah tentang makna imbuhan “ter-“ di dalam kaidah berbahasa Indonesia?

2.   Terminologi : Fungsionaris Pastoral Awam, Terbaptis, Tertahbis:
a.      Awam :
Secara etimologis istilah awam ditujukan kepada semua orang yang disebut sebagai umat Allah.[1] Umat beriman yang secara penuh telah menjadi anggota Gereja melalui baptisan, Krisma dan Ekaristi (1 Pt 2,9‑10), tetapi tidak menerima tahbisan suci dan bukan klerus.
Untuk menunjukan Israel sebagai bangsa kepilihan Allah, bahasa Yunani dalam Perjanjian Lama menggunakan istilah “am” terjemahan dari Septuaginta  dengan “laòs” (cf. Kel. 19:3.7; Dt.7,6; 14,2). Kata ini baik dalam bahasa Yunani maupun Ibrani dapat ditujukan juga kepada semua bangsa di mana untuk membedakan dengan para pemimpin mereka dari kalangan para imam, nabi dan para tetua (cf. Yes 24:2; Yer 26:11).[2]
Sedangkan Kamus Pastoral Sintetik menegaskan kekayaan isi dari perkembangan sejarah dan teologi. Penggunaan istilah awam berawal pada abad ke-III untuk membedakannya dengan klerus. Awam adalah mereka yang bukan klerus, yang tidak mendapat tahbisan suci.[3] Pemahaman seperti ini serentak memperlihatkan aspek negatif yakni mereka yang bukan imam. Dengan demikian melahirkan tiga golongan dalam gereja yakni Imam, Biarawan-biarawati dan awam.
Dalam praktek kehidupan Gereja, term “awam” dipakai dalam dua arti. Secara teologis, awam adalah warga anggota gereja yang tidak ditahbiskan, juga meliputi biarawan/biarawati yang tidak ditahbiskan. Sedangkan secara tipologis awam adalah warga gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan/biarawati. Ini berarti awam hanya termasuk orang-orang yang bukan kaum tertahbis dan bukan biarawan/biarawati.
Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan istilah awam adalah semua orang beriman kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau status religius yang diakui dalam gereja. Kaum beriman kristiani yang berkat baptisan telah menjadi anggota tubuh kristus, terhimpun menjadi umat Allah, dengan cara mereka sendiri mengemban tiga-tugas Kristus. Tugas itu dapat dilaksanakan sesuai dengan kemampuan mereka sebagai satu bentuk perutusan umat kristiani dalam gereja dan dalam dunia. Tanggung jawab kaum awam berdasarkan panggilan khas mereka adalah untuk mencari kerajaan Allah dengan mengurus hal ikhwal keduniaan dan mengaturnya menurut kehendak Allah.
Dalam gereja, setiap bentuk kehidupan secara prinsipiil berbeda satu sama lain. Perbedaan antara awam dan imam terletak pada fungsi dan jabatan, sedangkan perbedaan dengan biarawan / biarawati menyangkut corak hidup. Corak kehidupan biarawan/biarawati diwarnai dengan kaul dan ikatan suci lainnya, dengannya mereka mewajibkan diri untuk hidup menurut tiga nasehat injil, yakni keperawanan, kemiskinan dan ketaatan.
Yves Congar menegaskan bahwa kehidupan imam dan biarawan/biarawati secara menyolok sangat berbeda. Para imam ditandai dengan adanya fungsi sedangkan biarawan/biarawati oleh cara hidup. Walaupun demikian Konsili Vatikan II lebih menekankan unsur positif dan kebersamaan semua anggota gereja terutama partisipasi dalam tri-tugas Kristus (cf 1Ptr 2,5.9-10; Ef 4,4-16).[4]

b.      Terbaptis – Tertahbis : pemaknaan atas imbuhan “ter-“

Penggunaan imbuhan “ter-“ pada frase fungsionaris pastoral ter-tahbis dan fungsionaris pastoral ter-baptis telah menggema kurang lebih enam tahun lalu di dalam wilayah dua kesukupan ini: KAE dan KUM (Keuskupan Maumere).
Menyisik kaidah berbahasa Indonesia, awalan (imbuhan) “ter-“ dalam bahasa Indonesia bisa mengandung arti sesuatu yang tidak diduga sebelumnya, (= terlena); sesuatu yang tidak disengaja (= terjatuh); atau sesuatu yang tidak diharapkan (= tertangkap).
Ketika imbuhan (awalan) “ter-“ dipasangkan pada dua kata dasar “tahbis” dan “baptis”, maka apakah tidak menjadi benar kalau maknanya bisa berarti seperti kaidah berbahasa Indonesia pada umumnya? Sehingga yang terjadi adalah: “ter-baptis” berarti : baptisannya tak diduga sebelumnya; tak sengaja dibaptis; baptisannya tidak diharapkan. Demikian pula makna awalan “ter-“ pada frase “ter-tahbis”.
Sampai di sini, kita tentu bisa sepakat kalau sudah saatnya kita “bertobat” dari salah kaprah terminologis selama enam tahun terakhir ini. Untuk itu mungkin baik kita menggunakan sebutan Fungsionaris Pastoral karena tahbisan (untuk yang ditahbiskan) dan Fungsionaris Pastoral karena baptisan (untuk yang dibaptis.)

3.   Konsili Vatican II : Angin perubahan itu berhembus

Sebelum Konsili Vatikan II kaum awam kurang mendapat tempat dan peranan dalam kehidupan gereja. Hal ini disebabkan oleh paham yang dianuti orang-orang pada masa itu yang sangat menekankan aspek hirarkis, organisatoris, yuridis formal mengenai gereja. Pandangan itu kemudian berubah secara radikal setelah Konsili Vatikan II. Dokumen Konsili Vatikan II terutama Konstitusi Luman Gentium dan Apostolicam Actuositatem secara jelas dan tegas menekankan peranan awam dalam kehidupan gereja.
Dokumen Konsili Vatikan II Lumen Gentium bab IV secara khusus berbicara tentang awam. Lumen Gentium menggarisbawahi pandangan baru tentang awam sebagai berikut :
«Yang dimaksudkan dengan awam di sini adalah semua umat beriman kristen, di luar anggota tahbisan suci dan status biarawan yang sah dalam gereja, yakni umat beriman yang digabungkan dengan Kristus oleh permandian, dilantik sebagai umat Allah dan mengambil bagian atas caranya dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja, lalu menjalankan seluruh perutusan umat kristen dalam Gereja dan dalam dunia sesuai tanggungannya» (LG.31)

Pandangan baru ini mengandung beberapa unsur penting yang mencirikan awam. Tentang siapakah kaum awam itu, secara jelas dikatakan bahwa awam adalah umat beriman yang memperoleh keanggotaan dalam Gereja berdasarkan sakramen permandian. Dalam sakramen permandian mereka memperoleh satu kesatuan istimewa dengan Kristus; dalam arti bahwa dengan sakramen permandian mereka dimasukan ke dalam gereja sebagai anggota umat Allah dengan Kristus sebagai kepalanya.
Unsur lain yang memberi ciri kepada kaum awam adalah berdasarkan persatuan dengan kristus mereka turut mengambil bagian dalam tugas perutusan kristus sebagai imam, nabi dan raja. Tugas perutusan itu merupakan konsekuensi dari penerimaan sakramen permandian.
Dengan adanya perbedaan antara awam dengan kelompok religius, Konsili Vatikan II tidak bermaksud menggolong-golongkan umat Allah. Sebaliknya yang mau ditekankan adalah posisi dan peranan setiap anggota gereja di dalam satu kesatuan menurut panggilan hidup masing-masing.
Tentang kaum awam, Gaudium et spes berbicara pada bagian I, terutama pada bab IV mengenai peran gereja dalam dunia. Sedangkan dalam bagian II berbicara tentang masalah-masalah yang lebih konkret dan mendesak serta relevan untuk kerasulan awam eksternal.
Gaudium et spes no. 43 secara jelas menggarisbawahi keterlibatan semua orang kristiani dalam berbagai bentuk kegiatan yang bersifat duniawi. Konsili mengajak semua orang kristiani agar menjalankan tugas-tugas duniawinya dengan setia, malah dengan dibimbing oleh semangat injil.
Ad gentes juga berbicara tentang partisipasi semua umat beriman dalam karya misi. Pertama-tama semua orang kristiani harus menjadi pembawa kesaksian tentang iman kristianinya. Melalui baptisan yang telah mereka terima dan kekuatan Roh Kudus yang mengukuhkan mereka dalam sakramen krisma, mereka menampilkan manusia baru dengan teladan hidup dan kesaksian lisan setiap hari (AG 11).
Lebih lanjut bapak-bapak konsili juga menggarisbawahi kerja sama antara semua anggota gereja dalam karya misi gereja di dunia. Semua anggota gereja memiliki kesadaran yang hidup akan tanggungjawabnya terhadap dunia; membina semangat katolik sejati di dalam dirinya dan mencurahkan tenaganya dalam karya penginjilan. Untuk itu mereka mesti menghayati kehidupan kristen secara mendalam (AG 36).
Para bapak konsili secara khusus menyebutkan kerja sama para awam dalam karya penginjilan dengan cara memupuk pengengetahuan dan cinta kepada usaha penginjilan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, membangkitkan panggilan di dalam keluarga sendiri, di dalam sekolah-sekolah dan juga memberikan sumbangan bagi karya misi: mengajar di sekolah-sekolah, berperan serta dalam kegiatan paroki dan keuskupan dan memajukan berbagai bentuk kerasulan awam, agar umat beriman di gereja-gereja muda boleh berkembang.
Konsili Vatikan II menerbitkan sebuah dektrit khusus tentang kerasulan awam yang disebut Apostolicam Actuositatem. Istilah yang dipakai di sini berasal dari kata bahasa Latin yaitu kata apostolus yang berarti utusan atau rasul dan dari kata actus atau actio yang berarti perbuatan, usaha atau kegiatan. Jadi secara singkat istilah Apostolicam Actuositatem dapat diartikan sebagai kegiatan merasul.
Dekrtit AA diterbitkan sebagai penjelasan lanjut dari konstitusi dogmatis tentang gereja Lumen Gentium. Di dalam dektrit ini kaum awam diberi tempat yang istimewa untuk mengembangkan karya kerasulan dalam gereja dan tata dunia. Dektrit AA terdiri dari 6 bab dan 33 artikel yang menguraikan secara keseluruhan tentang kerasulan awam.
Apostolicam Actuositatem no. 5, merumuskan tujuan kerasulan awam sebagai berikut:
«Karena menurut kodratnya menyangkut penyelematan manusia, maka karya penebusan Kristus mencakup juga pembaharuan suluruh tata hidup duniawi. Oleh sebab itu perutusan Gereja tidak saja membawakan warta Kristus dan rahmatNya kepada manusia tetapi juga meresapi dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat injil. Jadi para awam yang melaksanakan perutusan gereja ini, menjalankan kerasulannya baik di dalam gereja maupun di dalam dunia. Tata rohani dan tata dunia walaupun dibeda-bedakan, toh berhubungan sedemikian rupa dalam satu-satunya rencana Allah, sehingga Allah sendiri bertujuan mengangkat kembali seluruh dunia dalam Kristus menjadi ciptaan baru, dimulai di dunia ini dan sepenuhnya pada hari terakhir. Di dalam kedua tatanan ini seorang awam serentak beriman dan warga, harus dituntun terus menerus oleh satu hati nurani kristen».

Berdasarkan penegasan AA no.5 di atas dapatlah dikatakan secara singkat mengenai tujuan kerasulan awam itu, yakni evangelisasi dan penataan dunia. Kedua tujuan itu saling berkaitan dalam satu misi penebusan yang diemban oleh Kristus dan akhirnya diserahkan kepada gereja. Karena itu karya kerasulan awam mencakup aspek rohani dan jasmani. Keduanya tidak dipisahkan tetapi saling melengkapi. Dengan demikian awam sebenarnya memiliki bidang karya misi yang sangat luas di dalam dunia.

4.   Pemberdayaan Fungsionaris Pastoral : Dasar pelayanan Gereja

Kaum beriman oleh karena baptisanya menjadi anggota Gereja Kristus dan mengambil bagian dalam tri-tugas perutusan Kristus sebagai imam, nabi, dan raja. Tiga tugas ini diemban oleh semua umat beriman, karena itu bagi mereka pun proses pembentukan dan pendampingan mesti terjadi secara berkelanjutan. Ini tidak terjadi sekali untuk selamanya, tetapi akan terjadi selamanya setiap kali.
Kegiatan pastoral yang terjadi di dalam komunitas kristiani: keuskupan, paroki, TPAPT dan KUB pada dasarnya adalah kegiatan pendampingan dan pemberdayaan. Penyadaran dan pembentukan. Karena itu dibutuhkan kebijakan pastoral yang ekstra untuk mengorganisir “proyek” pembinaan, pendampingan dan penyadaran secara berkelanjutan dan tanpa henti.
Kesibukan pastoral semestinya berpijak pada kesadaran akan peran pemberdayaan bagi kaum beriman yang dilakukan pertama-tama dari pihak para gembala-pastor yang karena tahbisannya dipanggil untuk menggembalakan kawanan dombaNya. Strategi pastoral menjadi pintu masuk yang jitu untuk memulai karya pastoral yang tepat sasar. Para fungsionaris pastoral yang menyadari makna baptisannya, menjadi titik star awal untuk memulai mengembangkan karya pastoral pemberdayaan. Bagai Sang Guru yang memulai dengan sekawanan kecil para murid, demikian kita bisa memulainya dengan mereka yang berkendak baik untuk terlibat dalam karya perutusan Sang Guru.
Catatan sejarah misi di tanah kita (Flores) membuktikan bahwa para pendahulu telah bekerja tanpa lelah, penuh semangat dan dedikasi, yang melahirkan kesuburan iman di Nusa Bunga. Semangat itu tentu masih melekat erat dalam nubari, ia tentu tidak hanya sekedar kenangan indah, memori masa lalu, yang menoreh tinta emas kekatolikan di Nusa Nipa dengan sebutan naturaliter Christiana:[5] secara alamiah orang Flores itu Kristen. Sebutan itu kini menjadi satu tantangan baru untuk terus membangkitan semangat pemberdayakan kaum beriman untuk terlibat dalam karya pastoral Gereja. Ia menjadi api yang meletup semangat animasi bagi para fungsionaris pastoral baik karena tahbisan maupun karena baptisannya.

5.   Kata Akhir : berubah untuk berbuah.

Studi dokumen tentang kaum beriman yang karena baptisannya mengemban tugas penting dalam kehidupan Gereja, menunjukkan kepada kita bahwa sudah selama 50 tahun pasca Konsili Vatikan II, Gereja memberikan perhatian yang sangat besar kepada kaum beriman bukan hanya klerus dan biarawan-biarawati.
Kaum beriman menjadi rekan sekerja kaum klerus dalam ladangNya. Mereka menjadi mitra seperjuangan dalam medan kegembalaanNya. Seberapa jauh kesadaran ini merasuk dalam diri semua yang dibaptis pasca 50 tahun Konsili Vatican II?
Paus Yohanes XXIII pada suatu kesempatan pernah menggambarkan situasi Gereja pada masa Konsili Vatikan II seperti membuka jendela perubahan di dalam Gereja. Dan angin perubahan itu telah berhembus 50 tahun lamanya. Saatnya kini bukan hanya “jendela perubahan” yang mesti dibuka, tetapi juga “pintu pembaharuan”. Roh itu akan tetap berhembus. Membaharui, agar berubah, dalam berbuat untuk berbuah.

BAHAN BACAAN :
CONGAR Y., Lay People in The Church, London, Geoffrey Chapman, 1983.3;
___________Per una teologia del laicato, Morcelliana, Brescia 1967, 19-28.
FLORISTAN C. - TAMAYO J.J., Dizionario Sintentico Pastorale, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 1998.
KASPER W., Chiesa Cattolica. Essenza-Realtà-Missione, Queriniana, Brescia 2012, 328-333.
URAN, L.L., Sejarah Perkembangan Misi Flores, Nusa Indah, Ende 1988, 171.

http://www.sanlucact.org/modules.php?name=Encyclopedia&op=content&tid=laico


[1] http://www.sanlucact.org/modules.php?name=Encyclopedia&op=content&tid=laico
[2] W. KASPER, Chiesa Cattolica. Essenza-Realtà-Missione, Queriniana, Brescia 2012, 328-333.
[3] C. FLORISTAN-J.J. TAMAYO, Dizionario Sintentico Pastorale, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 1998.
[4] Y. CONGAR, Lay People in The Church, London, Geoffrey Chapman, 1983.3; cf. Per una teologia del laicato, Morcelliana, Brescia 1967, 19-28.
[5] URAN, L.L., Sejarah Perkembangan Misi Flores, Nusa Indah, Ende 1988, 171.

Nessun commento:

Posta un commento