(Refleksi kecil atas 6 tahun KUM dan 50 tahun pasca
Konsili Vatikan II)
1. Pra-kata : Quo vadis?
Quo vadis Domine? Kemana pergi Tuan? Pertanyaan singkat Petrus - si Wadas untuk Sang Guru.
Dan kepadanya diberikan jawaban tak terduga, “Eo Romam iterum crucifigi” – “Aku mau ke Roma untuk disalibkan
kedua kalinya”. Suatu jawaban tantangan, yang melahirkan pembaruan radikal bagi
Petrus sang Batu Karang yang saat itu sedang ciut nyali-nya berhadapan dengan penyiksaan yang ditanggung
komunitas Kristen dibawa penindasan Nero kala itu.
Quo vadis
Domine? Pertanyaan kecil di ujung setapak pelarian diri itu, lalu
menghantar Petrus ke tiang salib pertobatan. Dengannya ia rela disalibkan
sebagaimana Sang Guru, malah dengan lebih radikal: kepala ke bawah, menjuntai
tanah.
Quo vadis
Domine? Mungkin juga menjadi pertanyaan bagi kripra pastoral yang
sedang kita jalani. Quo vadis pemberdayaan fungsionaris pastoral kita?
Sebutan atau panggilan
“fungsionaris pastoral” sudah bergema di se-antero wilayah Keuskupan Agung
Ende: Bajawa, Ende, Maumere, sejak tahun 2000 ketika KAE menyelenggarakan
MUSPAS IV di Maumere (kala itu Maumere masih merupakan bagian tak terpisahkan
dari KAE). Sebutan itu sejalan dengan gencarnya KAE menjadikan KUB (Komunitas
Umat Basis) sebagai focus dan lokus
karya pastoral pemberdayaan.
Gaung “pemberdayaan” makin nyaring
terasa ketika KAE kembali menggelar MUSPAS ke-V, 2005 di Mataloko. Dari sana
berkumandang seruan “Pemberdayaan KUB dan Fungsionaris Pastoral” sebagai ujung
tombak karya pastoral pembebasan integral di seluruh wilayah KAE.
MUSPAS V lalu membidani kelahiran
sebuah sebutan baru bagi para fungsionaris pastoral, dengan memakai imbuhan “ter-“ untuk membedakan dua
golongan/kelompok para fungsionaris pastoral, demi menghindari penggunaan kata
“awam” yang dinilai bernuansa negatif. Maka lahirlah sebutan “Fungsionaris
pastoral ter-baptis dan fungsionaris
pastoral ter-tahbis.” (penulisan imbuhan
“ter-“ pada kalimat di atas sengaja
dipisahkan untuk menunjukan perbedaan pengertiannya - red-.)
Setelah kurang lebih enam tahun
setelah MUSPAS V dan Maumere telah menjadi Keuskupan sendiri, mandiri, terpisah
dari Ende, – meskipun “ia lahir dari ranting yang sama” – Maumere toh telah
menjadi sebuah keuskupan yang otonom dengan berbagai persoalan pastoralnya
sendiri. Dan KAE pun telah menyelenggarakan MUSPAS-nya yang ke-VI (tentu kali
ini tanpa Maumere), sebutan fungsionaris pastoral ter-baptis dan ter-tahbis,
tetap menggema di dua wilayah keuskupan ini. Pertanyaan yang kini lahir adalah
apa benar pemakaian imbuhan “ter-“ pada
kalimat di atas bisa mengeliminasi kesan negatif pada kata “awam”? Atau malah
melahirkan sebuah pemahaman yang salah kaprah tentang makna imbuhan “ter-“ di dalam kaidah berbahasa
Indonesia?
2. Terminologi : Fungsionaris
Pastoral Awam, Terbaptis, Tertahbis:
a. Awam :
Secara etimologis istilah awam ditujukan
kepada semua orang yang disebut sebagai umat Allah.[1] Umat
beriman yang secara penuh telah menjadi anggota Gereja melalui baptisan, Krisma
dan Ekaristi (1 Pt 2,9‑10), tetapi tidak menerima tahbisan suci dan bukan
klerus.
Untuk menunjukan Israel sebagai bangsa kepilihan Allah, bahasa Yunani dalam
Perjanjian Lama menggunakan istilah “am”
terjemahan dari Septuaginta dengan “laòs”
(cf. Kel. 19:3.7; Dt.7,6; 14,2). Kata ini baik dalam bahasa Yunani maupun
Ibrani dapat ditujukan juga kepada semua bangsa di mana untuk membedakan dengan
para pemimpin mereka dari kalangan para imam, nabi dan para tetua (cf. Yes
24:2; Yer 26:11).[2]
Sedangkan Kamus Pastoral Sintetik
menegaskan kekayaan isi dari perkembangan sejarah dan teologi. Penggunaan istilah awam berawal pada
abad ke-III untuk membedakannya dengan klerus. Awam adalah mereka yang bukan
klerus, yang tidak mendapat tahbisan suci.[3] Pemahaman seperti ini serentak
memperlihatkan aspek negatif yakni mereka yang bukan imam. Dengan demikian melahirkan tiga golongan dalam gereja
yakni Imam, Biarawan-biarawati dan awam.
Dalam praktek kehidupan
Gereja, term “awam” dipakai dalam dua arti. Secara teologis, awam adalah warga
anggota gereja yang tidak ditahbiskan, juga meliputi biarawan/biarawati yang
tidak ditahbiskan. Sedangkan secara tipologis awam adalah warga gereja yang
tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan/biarawati. Ini berarti awam hanya
termasuk orang-orang yang bukan kaum tertahbis dan bukan biarawan/biarawati.
Dengan demikian, yang
dimaksudkan dengan istilah awam adalah semua orang beriman kristiani kecuali
mereka yang termasuk golongan imam atau status religius yang diakui dalam
gereja. Kaum beriman kristiani yang berkat baptisan telah menjadi anggota tubuh
kristus, terhimpun menjadi umat Allah, dengan cara mereka sendiri mengemban
tiga-tugas Kristus. Tugas itu dapat dilaksanakan sesuai dengan kemampuan mereka
sebagai satu bentuk perutusan umat kristiani dalam gereja dan dalam dunia.
Tanggung jawab kaum awam berdasarkan panggilan khas mereka adalah untuk mencari
kerajaan Allah dengan mengurus hal ikhwal keduniaan dan mengaturnya menurut
kehendak Allah.
Dalam gereja, setiap
bentuk kehidupan secara prinsipiil berbeda satu sama lain. Perbedaan antara
awam dan imam terletak pada fungsi dan jabatan, sedangkan perbedaan dengan
biarawan / biarawati menyangkut corak hidup. Corak kehidupan biarawan/biarawati
diwarnai dengan kaul dan ikatan suci lainnya, dengannya mereka mewajibkan diri
untuk hidup menurut tiga nasehat injil, yakni keperawanan, kemiskinan dan
ketaatan.
Yves Congar menegaskan
bahwa kehidupan imam dan biarawan/biarawati secara menyolok sangat berbeda. Para
imam ditandai dengan adanya fungsi sedangkan biarawan/biarawati oleh cara
hidup. Walaupun demikian Konsili Vatikan II lebih menekankan unsur positif dan
kebersamaan semua anggota gereja terutama partisipasi dalam tri-tugas Kristus
(cf 1Ptr 2,5.9-10; Ef 4,4-16).[4]
b.
Terbaptis – Tertahbis : pemaknaan atas imbuhan “ter-“
Penggunaan
imbuhan “ter-“ pada frase
fungsionaris pastoral ter-tahbis dan
fungsionaris pastoral ter-baptis
telah menggema kurang lebih enam tahun lalu di dalam wilayah dua kesukupan ini:
KAE dan KUM (Keuskupan Maumere).
Menyisik
kaidah berbahasa Indonesia, awalan (imbuhan) “ter-“ dalam bahasa Indonesia bisa mengandung arti sesuatu yang
tidak diduga sebelumnya, (= terlena); sesuatu yang tidak disengaja (=
terjatuh); atau sesuatu yang tidak diharapkan (= tertangkap).
Ketika
imbuhan (awalan) “ter-“ dipasangkan
pada dua kata dasar “tahbis” dan “baptis”, maka apakah tidak menjadi benar
kalau maknanya bisa berarti seperti kaidah berbahasa Indonesia pada umumnya?
Sehingga yang terjadi adalah: “ter-baptis”
berarti : baptisannya tak diduga sebelumnya; tak sengaja dibaptis; baptisannya
tidak diharapkan. Demikian pula makna awalan “ter-“ pada frase “ter-tahbis”.
Sampai
di sini, kita tentu bisa sepakat kalau sudah saatnya kita “bertobat” dari salah
kaprah terminologis selama enam tahun terakhir ini. Untuk itu mungkin baik kita menggunakan
sebutan Fungsionaris Pastoral karena tahbisan (untuk yang ditahbiskan) dan
Fungsionaris Pastoral karena baptisan (untuk yang dibaptis.)
3. Konsili Vatican II : Angin perubahan itu berhembus
Sebelum Konsili Vatikan II kaum awam kurang mendapat tempat
dan peranan dalam kehidupan gereja. Hal ini disebabkan oleh paham yang dianuti
orang-orang pada masa itu yang sangat menekankan aspek hirarkis, organisatoris,
yuridis formal mengenai gereja. Pandangan itu kemudian berubah secara
radikal setelah Konsili Vatikan II. Dokumen Konsili Vatikan II terutama
Konstitusi Luman Gentium dan Apostolicam Actuositatem secara jelas dan tegas
menekankan peranan awam dalam kehidupan gereja.
Dokumen Konsili Vatikan II Lumen
Gentium bab IV secara khusus berbicara tentang awam. Lumen Gentium
menggarisbawahi pandangan baru tentang awam sebagai berikut :
«Yang dimaksudkan dengan
awam di sini adalah semua umat beriman kristen, di luar anggota tahbisan suci
dan status biarawan yang sah dalam gereja, yakni umat beriman yang digabungkan
dengan Kristus oleh permandian, dilantik sebagai umat Allah dan mengambil
bagian atas caranya dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja, lalu
menjalankan seluruh perutusan umat kristen dalam Gereja dan dalam dunia sesuai
tanggungannya» (LG.31)
Pandangan baru ini mengandung beberapa unsur penting yang
mencirikan awam. Tentang siapakah kaum awam itu, secara jelas dikatakan bahwa
awam adalah umat beriman yang memperoleh keanggotaan dalam Gereja berdasarkan
sakramen permandian. Dalam sakramen permandian mereka memperoleh satu kesatuan
istimewa dengan Kristus; dalam arti bahwa dengan sakramen permandian mereka
dimasukan ke dalam gereja sebagai anggota umat Allah dengan Kristus sebagai
kepalanya.
Unsur lain yang memberi ciri kepada kaum awam adalah
berdasarkan persatuan dengan kristus mereka turut mengambil bagian dalam tugas
perutusan kristus sebagai imam, nabi dan raja. Tugas perutusan itu merupakan
konsekuensi dari penerimaan sakramen permandian.
Dengan adanya perbedaan antara awam dengan kelompok religius,
Konsili Vatikan II tidak bermaksud menggolong-golongkan umat Allah. Sebaliknya
yang mau ditekankan adalah posisi dan peranan setiap anggota gereja di dalam
satu kesatuan menurut panggilan hidup masing-masing.
Tentang kaum awam, Gaudium et
spes berbicara pada bagian I, terutama pada bab IV mengenai peran gereja dalam
dunia. Sedangkan dalam bagian II berbicara tentang masalah-masalah yang lebih
konkret dan mendesak serta relevan untuk kerasulan awam eksternal.
Gaudium et spes no. 43 secara
jelas menggarisbawahi keterlibatan semua orang kristiani dalam berbagai bentuk
kegiatan yang bersifat duniawi. Konsili mengajak semua orang kristiani agar
menjalankan tugas-tugas duniawinya dengan setia, malah dengan dibimbing oleh
semangat injil.
Ad gentes juga berbicara tentang partisipasi semua umat beriman
dalam karya misi. Pertama-tama semua orang kristiani harus menjadi pembawa
kesaksian tentang iman kristianinya. Melalui baptisan yang telah mereka terima
dan kekuatan Roh Kudus yang mengukuhkan mereka dalam sakramen krisma, mereka
menampilkan manusia baru dengan teladan hidup dan kesaksian lisan setiap hari
(AG 11).
Lebih lanjut bapak-bapak konsili
juga menggarisbawahi kerja sama antara semua anggota gereja dalam karya misi gereja
di dunia. Semua anggota gereja memiliki kesadaran yang hidup akan
tanggungjawabnya terhadap dunia; membina semangat katolik sejati di dalam
dirinya dan mencurahkan tenaganya dalam karya penginjilan. Untuk itu mereka
mesti menghayati kehidupan kristen secara mendalam (AG 36).
Para bapak konsili secara khusus
menyebutkan kerja sama para awam dalam karya penginjilan dengan cara memupuk
pengengetahuan dan cinta kepada usaha penginjilan baik untuk diri sendiri
maupun untuk orang lain, membangkitkan panggilan di dalam keluarga sendiri, di
dalam sekolah-sekolah dan juga memberikan sumbangan bagi karya misi: mengajar
di sekolah-sekolah, berperan serta dalam kegiatan paroki dan keuskupan dan
memajukan berbagai bentuk kerasulan awam, agar umat beriman di gereja-gereja
muda boleh berkembang.
Konsili Vatikan II menerbitkan
sebuah dektrit khusus tentang kerasulan awam yang disebut Apostolicam Actuositatem. Istilah yang dipakai di sini berasal dari
kata bahasa Latin yaitu kata apostolus
yang berarti utusan atau rasul dan dari kata actus atau actio yang
berarti perbuatan, usaha atau kegiatan. Jadi secara singkat istilah Apostolicam Actuositatem dapat diartikan
sebagai kegiatan merasul.
Dekrtit AA diterbitkan sebagai
penjelasan lanjut dari konstitusi dogmatis tentang gereja Lumen Gentium. Di dalam dektrit ini kaum awam diberi tempat yang
istimewa untuk mengembangkan karya kerasulan dalam gereja dan tata dunia.
Dektrit AA terdiri dari 6 bab dan 33 artikel yang menguraikan secara
keseluruhan tentang kerasulan awam.
Apostolicam
Actuositatem no. 5, merumuskan
tujuan kerasulan awam sebagai berikut:
«Karena menurut kodratnya menyangkut penyelematan
manusia, maka karya penebusan Kristus mencakup juga pembaharuan suluruh tata
hidup duniawi. Oleh sebab itu perutusan Gereja tidak saja membawakan warta
Kristus dan rahmatNya kepada manusia tetapi juga meresapi dan menyempurnakan
tata dunia dengan semangat injil. Jadi para awam yang melaksanakan perutusan
gereja ini, menjalankan kerasulannya baik di dalam gereja maupun di dalam
dunia. Tata rohani dan tata dunia walaupun dibeda-bedakan, toh berhubungan
sedemikian rupa dalam satu-satunya rencana Allah, sehingga Allah sendiri
bertujuan mengangkat kembali seluruh dunia dalam Kristus menjadi ciptaan baru,
dimulai di dunia ini dan sepenuhnya pada hari terakhir. Di dalam kedua tatanan
ini seorang awam serentak beriman dan warga, harus dituntun terus menerus oleh
satu hati nurani kristen».
Berdasarkan penegasan AA no.5 di atas dapatlah dikatakan
secara singkat mengenai tujuan kerasulan awam itu, yakni evangelisasi dan
penataan dunia. Kedua tujuan itu saling berkaitan dalam satu misi penebusan
yang diemban oleh Kristus dan akhirnya diserahkan kepada gereja. Karena itu
karya kerasulan awam mencakup aspek rohani dan jasmani. Keduanya tidak
dipisahkan tetapi saling melengkapi. Dengan demikian awam sebenarnya memiliki
bidang karya misi yang sangat luas di dalam dunia.
4. Pemberdayaan Fungsionaris Pastoral : Dasar pelayanan Gereja
Kaum beriman oleh karena baptisanya
menjadi anggota Gereja Kristus dan mengambil bagian dalam tri-tugas perutusan
Kristus sebagai imam, nabi, dan raja. Tiga tugas ini diemban oleh semua umat
beriman, karena itu bagi mereka pun proses pembentukan dan pendampingan mesti
terjadi secara berkelanjutan. Ini tidak terjadi sekali untuk selamanya, tetapi
akan terjadi selamanya setiap kali.
Kegiatan pastoral yang terjadi di
dalam komunitas kristiani: keuskupan, paroki, TPAPT dan KUB pada dasarnya
adalah kegiatan pendampingan dan pemberdayaan. Penyadaran dan pembentukan.
Karena itu dibutuhkan kebijakan pastoral yang ekstra untuk mengorganisir
“proyek” pembinaan, pendampingan dan penyadaran secara berkelanjutan dan tanpa
henti.
Kesibukan pastoral semestinya
berpijak pada kesadaran akan peran pemberdayaan bagi kaum beriman yang
dilakukan pertama-tama dari pihak para gembala-pastor yang karena tahbisannya
dipanggil untuk menggembalakan kawanan dombaNya. Strategi pastoral menjadi
pintu masuk yang jitu untuk memulai karya pastoral yang tepat sasar. Para fungsionaris
pastoral yang menyadari makna baptisannya, menjadi titik star awal untuk
memulai mengembangkan karya pastoral pemberdayaan. Bagai Sang Guru yang memulai
dengan sekawanan kecil para murid, demikian kita bisa memulainya dengan mereka
yang berkendak baik untuk terlibat dalam karya perutusan Sang Guru.
Catatan sejarah misi di tanah kita
(Flores) membuktikan bahwa para pendahulu telah bekerja tanpa lelah, penuh
semangat dan dedikasi, yang melahirkan kesuburan iman di Nusa Bunga. Semangat
itu tentu masih melekat erat dalam nubari, ia tentu tidak hanya sekedar
kenangan indah, memori masa lalu, yang menoreh tinta emas kekatolikan di Nusa Nipa
dengan sebutan naturaliter Christiana:[5]
secara alamiah orang Flores itu Kristen. Sebutan itu kini menjadi satu
tantangan baru untuk terus membangkitan semangat pemberdayakan kaum beriman
untuk terlibat dalam karya pastoral Gereja. Ia menjadi api yang meletup semangat animasi bagi para fungsionaris
pastoral baik karena tahbisan maupun karena baptisannya.
5. Kata Akhir : berubah untuk berbuah.
Studi dokumen tentang kaum beriman
yang karena baptisannya mengemban tugas penting dalam kehidupan Gereja,
menunjukkan kepada kita bahwa sudah selama 50 tahun pasca Konsili Vatikan II,
Gereja memberikan perhatian yang sangat besar kepada kaum beriman bukan hanya
klerus dan biarawan-biarawati.
Kaum beriman menjadi rekan sekerja
kaum klerus dalam ladangNya. Mereka menjadi mitra seperjuangan dalam medan
kegembalaanNya. Seberapa jauh kesadaran ini merasuk dalam diri semua yang
dibaptis pasca 50 tahun Konsili Vatican II?
Paus Yohanes XXIII pada suatu
kesempatan pernah menggambarkan situasi Gereja pada masa Konsili Vatikan II
seperti membuka jendela perubahan di dalam Gereja. Dan angin perubahan itu
telah berhembus 50 tahun lamanya. Saatnya kini bukan hanya “jendela perubahan”
yang mesti dibuka, tetapi juga “pintu pembaharuan”. Roh itu akan tetap
berhembus. Membaharui, agar berubah, dalam berbuat untuk berbuah.
BAHAN BACAAN :
CONGAR
Y., Lay People in The Church, London,
Geoffrey Chapman, 1983.3;
___________Per una
teologia del laicato, Morcelliana, Brescia 1967, 19-28.
FLORISTAN C. - TAMAYO J.J., Dizionario Sintentico Pastorale, Libreria Editrice Vaticana, Città
del Vaticano 1998.
KASPER W., Chiesa
Cattolica. Essenza-Realtà-Missione, Queriniana, Brescia 2012, 328-333.
URAN, L.L., Sejarah Perkembangan Misi Flores, Nusa Indah, Ende 1988,
171.
http://www.sanlucact.org/modules.php?name=Encyclopedia&op=content&tid=laico
[1]
http://www.sanlucact.org/modules.php?name=Encyclopedia&op=content&tid=laico
[2] W. KASPER, Chiesa Cattolica. Essenza-Realtà-Missione, Queriniana, Brescia
2012, 328-333.
[3] C. FLORISTAN-J.J. TAMAYO, Dizionario Sintentico Pastorale,
Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 1998.
[4] Y. CONGAR, Lay People in The Church, London, Geoffrey Chapman, 1983.3; cf. Per una teologia del laicato,
Morcelliana, Brescia 1967, 19-28.
[5] URAN, L.L., Sejarah Perkembangan Misi Flores, Nusa
Indah, Ende 1988, 171.
Nessun commento:
Posta un commento