MGR. KHERUBIM, SVD : MENGAJAR DENGAN CARA MENGAJAK.
Oleh : Rm. Yoris Role, Pr
Pada mulanya…
Siang itu, masih segar dalam
ingatanku. Aku mengetuk pintu ruang tamunya.
Tempat ia biasa menerima semua orang yang ingin menjumpainya. Tak ada jawaban
untuk sesaat dari dalam ruangan itu. Hening sebentar. Dan saya masih berdiri.
Menunggu.
Seorang pegawai keuskupan yang berada di belakang meja, yang baru saja
tadi kusalami dan kulewati berujar, “Masuk saja, sebentar lagi, pasti beliau
datang.”
Aku masuk. Duduk pada kursi yang ada. Sejenak hening. Tiba-tiba, pintu
samping terkuak. Beliau muncul dari balik pintu, sambil sedikit tersenyum.
Spontan, kusambut tanganya yang lebih dahulu diulurkan kepadaku, kugenggam dan
kukecup cincin pada jari manisnya.
“Selamat siang bapak,” sapaku.
“Ya, mari anak,” balasnya. Kami lalu
duduk. Di ruangan itu. Di ruangan tamunya.
Kemudian lanjutnya lagi, “Kamu
tentu tahu dan mengerti situasi pastoral di keuskupan kita. Karena itu, saya
meminta kesediaanmu…”
Inilah pengalaman pertemuan
pribadiku dengan beliau. Sepintas, tak berkesan.
Biasa saja. Namun bagiku sangat membekas. Beliau memperlihatkan kepadaku
kesaksian hidup: menyapa dan memberikan tangannya lebih dahulu. Beliau
mengawali percakapan. Tidak menunjukkan apa yang beliau inginkan, tetapi
memulainya dengan membuka kesadaran saya bahwa sebenarnya sebagai imam, saya
semestinya mengetahui dan memahami situasi keuskupan. “Kamu tentu tahu dan mengerti situasi…”
Kalimat pendek itu terus mengiang di dalam kepalaku. 1001 macam
pertanyaan bertaburan dalam pikiranku. Apa yang saya tahu akan situasi pastoral
keuskupan ini? Apa maksud beliau dengan kalimat pendeknya itu? Bukankah semua imam di keuskupan ini tentunya sudah tahu
dengan situasi pastoral? Mengapa kalimat pendek tapi sarat makna itu beliau
ajukan kepada saya yang notabene imamatku baru seumur jagung?
Dalam
perjalanan waktu, pernyataannya itu merupakan landasan yang selalu beliau pakai
untuk memulai karya pastoral di keuskupan baru ini. Meskipun beliau adalah
salah satu uskup senior Indonesia, namun beliau tidak serta-merta mempraktekan
pola pastoral di wilayah keuskupannya. Selama 22 tahun berkarya di keuskupan
Weetabula-Sumba, sebenarnya telah memungkinkan bagi beliau untuk mempraktekan
pola pastoral se-segerah mungkin setelah beliau pindah ke Maumere. Tapi itu
tidak dilakukannya.
Beliau mengawali karya
pastoralnya dengan melihat serta mempelajari situasi konkret keuskupannya.
Masih terngiang dalam ingatanku jawaban beliau ketika ditanya salah seorang
wartawan media lokal, sesaat setelah beliau ditunjuk oleh Tahta Suci sebagai
uskup kedua keuskupan Maumere, “Saya
perlu setengah tahun hingga satu tahun untuk melihat, mendengar, dan
mempelajari Keuskupan Maumere sebelum mulai melakukan atau merencanakan sesuatu
bersama semua orang.”
1.
Melihat, Mendengar dan Mempelajari :
Dua puluh dua
tahun menjadi gembala umat di keuskupan Weetabula-Sumba, tentu bukan suatu
kurun waktu yang singkat. Berjalan, berziarah bersama umat katolik di pulau
Sumba dalam kurun waktu yang sekian lama tentu telah memahat berbagai
pengalaman. Namun pengalaman itu tidak serta-merta dipraktekannya di Maumere.
Beliau masih membutuhkan waktu untuk melihat, mendengar dan mempelajari situasi
Maumere. Padahal Maumere sebenarnya bukanlah tempat yang sama sekali baru
baginya. Beliau putera asli Maumere, namun masih butuh waktu untuk mempelajari
situasi konkret Maumere. Di titik ini sebuah pelajaran tak ternilai, beliau
tunjukan: karya pastoral semestinya diawali dengan memahami situasi konkret
umat. Dengannya karya pastoral boleh menjawabi kebutuhan umat.
Hal ini tentu
senada dengan apa yang digariskan oleh Bunda Gereja dalam Dektrit tentang Tugas Para Uskup dalam Gereja, “Hendaknya para Uskup menyajikan ajaran kristiani dengan
cara yang menanggapi kebutuhan-kebutuhan zaman; artinya: menjawab
kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah yang sangat menekan dan menggelisahkan
orang-orang.”(bdk.Cristus Dominus,
no.13)
Dengannya tidak menjadi heran kalau beliau
bersedia “turun ke jalan” bersama barisan kemanusiaan. Gerakan solidaritas
untuk bencana alam Sumatera dan beberapa daerah lain di Indonesia beberapa
waktu lalu, tidak terlepas dari kesediaan beliau menyeruhkan aksi bersama. Juga
seruan moralnya kepada penyelenggaraan pemerintahan yang korup. Merupakan aksi
nyata kesediaannya membaca kebutuhan dan kesulitan yang menekan serta
menggelisahkan umatnya.
Keterlibatannya di tengah kegelisahan
umatnya tidak tanpa alasan dan landasan yang kokoh. Dektrit pastoral tentang
Gereja di tengah dunia dewasa ini sebagai buah dari Konsili Vatikan II, menjadi
acuan pergerakannya, “Kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin
dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi,
yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari
orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam
peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan
untuk disampaikan kepada
semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat
berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya.” (AG. No. 1)
2.
Merencanakan dan Melakukan Bersama Orang Lain :
Sebagai uskup,
beliau menyadari bahwa karya penyelamatan umat Allah tidak bisa dilaksanakannya
sendiri. Karya besar itu mesti dijalaninya bersama dengan yang lain. Ada communio di sini. Konsitusi dogmatik
tentang Gereja menggarisbawahi hal ini, “Gereja sebagai umat Allah mempunyai
konsekuensi yang luas mengenai tanggung jawab semua warga Gereja, bukan hanya
para anggota hirarki, juga bukan hanya awam, karena Gereja adalah para imam
anggota hirarki dan awam sebagai keseluruhan. Baik imam dan awam sama-sama
berpartisipasi pada tiga aspek tugas Kristus, yaitu sebagai imam, sebagai nabi
dan sebagai raja. Baik imam maupun awam mempunyai peran dalam tugas pengudusan
imami, dalam tugas kenabian mewartakan Injil dan Kerajaan Allah, dan dalam tugas rajawi yang
murah hati dalam pelayanan (Lumen Gentium 9-10).
Berdasarkan alur pemahaman inilah beliau dalam berbagai kesempatan
selalu menghimbau peran serta awam dalam karya pastoral. Ajakannya ini tidak
saja beliau lontarkan di hadapan umat ketika berkunjung ke paroki-paroki,
tetapi juga dalam berbagai kesempatan pertemuan bersama para imam. Tak
henti-hentinya beliau mengajak para imamnya untuk melibatkan para awam katolik
dalam melaksanakan karya pastoral parokial.
Dektrit Konsili Vatikan II
tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem
mengamanatkan bahwa kaum awam menerima tugas serta haknya untuk merasul
berdasarkan persatuan mereka dengan Kristus Sang Kepala. Sebab melalui pembaptisan,
mereka disaturagakan dalam tubuh mistik Kristus. Melalui sakramen krisma mereka
diteguhkan oleh kekuatan Roh Kudus, dan demikian oleh Tuhan sendiri ditetapkan
untuk merasul. Mereka memiliki kuasa imamat rajawi dan bangsa yang kudus (lih.
1Ptr 2:4-10). Dengan melalui segala kegiatan mereka mempersembahkan korban
rohani, dan dimana pun juga memberi kesaksian akan Kristus. Melalui
sakramen-sakramen, terutama Ekaristi suci, disalurkan dan dipupuklah cinta
kasih. Cinta menjadi jiwa bagi seluruh kerasulannya.
Maka semua orang beriman kristiani mengemban tugas mulia,
yakni berusaha agar, warta keselamatan Ilahi
dikenal dan diterima oleh semua orang. Atas dasar kesadaran inilah maka beliau
melibatkan banyak orang untuk merencanakan dan melaksanakan berbagai kegiatan
pastoral.
Beliau meneruskan ajaran Bunda Gereja dengan mengajak. Bukan memerintah.
Suaranya yang pelan namun berwibawa. Lembut namun tegas. Meski se-sekali
diselingi dengan meneguk air putih. Ajakannya tetap mengiang di hati. Beliau
berbicara tidak sebatas pengetahuan kepalanya, tetapi kata-katanya mengalir
dari hatinya. Sambil dipejamkan matanya, seakan membiarkan Roh Allah sendiri
yang berbicara kepada umatNya.
3. “Ut omnes unum sint” : Doa – kotbah yang dihidupinya.
Membiarkan Allah
sendiri yang berbicara melalui mulutnya, terungkap jelas ketika ia berkotbah.
Jarang terlihat beliau membawa teks kotbahnya. Beliau menghidupi kotbahnya. Dan
hidupnya sendiri adalah sebuah kotbah.
Kata-katanya mengalir. Tenang namun tegas. Pelan tapi
jelas. Dan bagi saya hal ini hanya bisa terjadi pada seorang yang benar-benar
telah menyatu dengan Sang Sabda. Sang Sabda tidak lagi sebatas huruf-huruf dan
kata-kata. Namun kehidupan.
Persatuannya dengan Sang Sabda terungkap dalam spirit
kegembalaannya. Ketika beliau menjadikan doa Sang Guru sebagai motto karya
kegembalaannya, “Semoga mereka semua bersatu” – ut omnes unum sint - “semoga semua bersatu, seperti Engkau, ya Bapa, dalam
Aku, dan Aku dalam Dikau, supaya mereka pun bersatu dalam kita: supaya
percayalah dunia, bahwa Engkau telah mengutus aku” (Yoh17:21)
Pada akhirnya…
Adalah Sang Guru yang memulai. Membuka
hati dan mengulurkan tangan, sebuah sapaan awal yang menyejukan. Hospitalita. Adalah Sang Guru yang
mengajar dengan teladan. Adalah sang Guru yang menghidupi kata-katanya. Inilah Sang
Cinta. Sebagaimana Dia yang menyerahkan nyawa bagi sahabat. Pada
lembaran kenangan ini kutitipkan sebaris puisi buatmu yang mengajar dengan mengajak…
Barangsiapa mau menjadi guru,
biarkan dia memulai mengajar dirinya
sendiri
sebelum mengajar
orang lain,
dan biarkan dia
mengajar dengan teladan
sebelum mengajar
dengan kata-kata.
(Khalil Gibran)
Nessun commento:
Posta un commento