mercoledì 20 luglio 2011

Kenangan bersama Mgr. Kherubim, SVD


MGR. KHERUBIM, SVD : MENGAJAR DENGAN CARA MENGAJAK.
Oleh : Rm. Yoris Role, Pr

Pada mulanya…

Siang itu, masih segar dalam ingatanku. Aku mengetuk pintu ruang tamunya. Tempat ia biasa menerima semua orang yang ingin menjumpainya. Tak ada jawaban untuk sesaat dari dalam ruangan itu. Hening sebentar. Dan saya masih berdiri. Menunggu.
Seorang pegawai keuskupan yang berada di belakang meja, yang baru saja tadi kusalami dan kulewati berujar, “Masuk saja, sebentar lagi, pasti beliau datang.”
Aku masuk. Duduk pada kursi yang ada. Sejenak hening. Tiba-tiba, pintu samping terkuak. Beliau muncul dari balik pintu, sambil sedikit tersenyum. Spontan, kusambut tanganya yang lebih dahulu diulurkan kepadaku, kugenggam dan kukecup cincin pada jari manisnya.
“Selamat siang bapak,” sapaku.
“Ya, mari anak,” balasnya. Kami lalu duduk. Di ruangan itu. Di ruangan tamunya.
Kemudian lanjutnya lagi, “Kamu tentu tahu dan mengerti situasi pastoral di keuskupan kita. Karena itu, saya meminta kesediaanmu…”

Inilah pengalaman pertemuan pribadiku dengan beliau. Sepintas, tak berkesan. Biasa saja. Namun bagiku sangat membekas. Beliau memperlihatkan kepadaku kesaksian hidup: menyapa dan memberikan tangannya lebih dahulu. Beliau mengawali percakapan. Tidak menunjukkan apa yang beliau inginkan, tetapi memulainya dengan membuka kesadaran saya bahwa sebenarnya sebagai imam, saya semestinya mengetahui dan memahami situasi keuskupan. “Kamu tentu tahu dan mengerti situasi…”
        
         Kalimat pendek itu terus mengiang di dalam kepalaku. 1001 macam pertanyaan bertaburan dalam pikiranku. Apa yang saya tahu akan situasi pastoral keuskupan ini? Apa maksud beliau dengan kalimat pendeknya itu? Bukankah semua imam di keuskupan ini tentunya sudah tahu dengan situasi pastoral? Mengapa kalimat pendek tapi sarat makna itu beliau ajukan kepada saya yang notabene imamatku baru seumur jagung?

            Dalam perjalanan waktu, pernyataannya itu merupakan landasan yang selalu beliau pakai untuk memulai karya pastoral di keuskupan baru ini. Meskipun beliau adalah salah satu uskup senior Indonesia, namun beliau tidak serta-merta mempraktekan pola pastoral di wilayah keuskupannya. Selama 22 tahun berkarya di keuskupan Weetabula-Sumba, sebenarnya telah memungkinkan bagi beliau untuk mempraktekan pola pastoral se-segerah mungkin setelah beliau pindah ke Maumere. Tapi itu tidak dilakukannya.
Beliau mengawali karya pastoralnya dengan melihat serta mempelajari situasi konkret keuskupannya. Masih terngiang dalam ingatanku jawaban beliau ketika ditanya salah seorang wartawan media lokal, sesaat setelah beliau ditunjuk oleh Tahta Suci sebagai uskup kedua keuskupan Maumere, “Saya perlu setengah tahun hingga satu tahun untuk melihat, mendengar, dan mempelajari Keuskupan Maumere sebelum mulai melakukan atau merencanakan sesuatu bersama semua orang.”

1.      Melihat, Mendengar dan Mempelajari :

Dua puluh dua tahun menjadi gembala umat di keuskupan Weetabula-Sumba, tentu bukan suatu kurun waktu yang singkat. Berjalan, berziarah bersama umat katolik di pulau Sumba dalam kurun waktu yang sekian lama tentu telah memahat berbagai pengalaman. Namun pengalaman itu tidak serta-merta dipraktekannya di Maumere. Beliau masih membutuhkan waktu untuk melihat, mendengar dan mempelajari situasi Maumere. Padahal Maumere sebenarnya bukanlah tempat yang sama sekali baru baginya. Beliau putera asli Maumere, namun masih butuh waktu untuk mempelajari situasi konkret Maumere. Di titik ini sebuah pelajaran tak ternilai, beliau tunjukan: karya pastoral semestinya diawali dengan memahami situasi konkret umat. Dengannya karya pastoral boleh menjawabi kebutuhan umat.
Hal ini tentu senada dengan apa yang digariskan oleh Bunda Gereja dalam Dektrit tentang Tugas Para Uskup dalam Gereja, “Hendaknya para Uskup menyajikan ajaran kristiani dengan cara yang menanggapi kebutuhan-kebutuhan zaman; artinya: menjawab kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah yang sangat menekan dan menggelisahkan orang-orang.”(bdk.Cristus Dominus, no.13)
Dengannya tidak menjadi heran kalau beliau bersedia “turun ke jalan” bersama barisan kemanusiaan. Gerakan solidaritas untuk bencana alam Sumatera dan beberapa daerah lain di Indonesia beberapa waktu lalu, tidak terlepas dari kesediaan beliau menyeruhkan aksi bersama. Juga seruan moralnya kepada penyelenggaraan pemerintahan yang korup. Merupakan aksi nyata kesediaannya membaca kebutuhan dan kesulitan yang menekan serta menggelisahkan umatnya.
Keterlibatannya di tengah kegelisahan umatnya tidak tanpa alasan dan landasan yang kokoh. Dektrit pastoral tentang Gereja di tengah dunia dewasa ini sebagai buah dari Konsili Vatikan II, menjadi acuan pergerakannya, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan  kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya.” (AG. No. 1)


2.      Merencanakan dan Melakukan Bersama Orang Lain :

Sebagai uskup, beliau menyadari bahwa karya penyelamatan umat Allah tidak bisa dilaksanakannya sendiri. Karya besar itu mesti dijalaninya bersama dengan yang lain. Ada communio di sini. Konsitusi dogmatik tentang Gereja menggarisbawahi hal ini, Gereja sebagai umat Allah mempunyai konsekuensi yang luas mengenai tanggung jawab semua warga Gereja, bukan hanya para anggota hirarki, juga bukan hanya awam, karena Gereja adalah para imam anggota hirarki dan awam sebagai keseluruhan. Baik imam dan awam sama-sama berpartisipasi pada tiga aspek tugas Kristus, yaitu sebagai imam, sebagai nabi dan sebagai raja. Baik imam maupun awam mempunyai peran dalam tugas pengudusan imami, dalam tugas kenabian mewartakan Injil dan Kerajaan Allah, dan dalam tugas rajawi yang murah hati dalam pelayanan (Lumen Gentium 9-10).
Berdasarkan alur pemahaman inilah beliau dalam berbagai kesempatan selalu menghimbau peran serta awam dalam karya pastoral. Ajakannya ini tidak saja beliau lontarkan di hadapan umat ketika berkunjung ke paroki-paroki, tetapi juga dalam berbagai kesempatan pertemuan bersama para imam. Tak henti-hentinya beliau mengajak para imamnya untuk melibatkan para awam katolik dalam melaksanakan karya pastoral parokial.

Dektrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem mengamanatkan bahwa kaum awam menerima tugas serta haknya untuk merasul berdasarkan persatuan mereka dengan Kristus Sang Kepala. Sebab melalui pembaptisan, mereka disaturagakan dalam tubuh mistik Kristus. Melalui sakramen krisma mereka diteguhkan oleh kekuatan Roh Kudus, dan demikian oleh Tuhan sendiri ditetapkan untuk merasul. Mereka memiliki kuasa imamat rajawi dan bangsa yang kudus (lih. 1Ptr 2:4-10). Dengan melalui segala kegiatan mereka mempersembahkan korban rohani, dan dimana pun juga memberi kesaksian akan Kristus. Melalui sakramen-sakramen, terutama Ekaristi suci, disalurkan dan dipupuklah cinta kasih. Cinta menjadi jiwa bagi seluruh kerasulannya.

  Maka semua orang beriman kristiani mengemban tugas mulia, yakni berusaha agar,  warta keselamatan Ilahi dikenal dan diterima oleh semua orang. Atas dasar kesadaran inilah maka beliau melibatkan banyak orang untuk merencanakan dan melaksanakan berbagai kegiatan pastoral.
Beliau meneruskan ajaran Bunda Gereja dengan mengajak. Bukan memerintah. Suaranya yang pelan namun berwibawa. Lembut namun tegas. Meski se-sekali diselingi dengan meneguk air putih. Ajakannya tetap mengiang di hati. Beliau berbicara tidak sebatas pengetahuan kepalanya, tetapi kata-katanya mengalir dari hatinya. Sambil dipejamkan matanya, seakan membiarkan Roh Allah sendiri yang berbicara kepada umatNya.

3.      “Ut omnes unum sint” : Doa – kotbah yang dihidupinya.

Membiarkan Allah sendiri yang berbicara melalui mulutnya, terungkap jelas ketika ia berkotbah. Jarang terlihat beliau membawa teks kotbahnya. Beliau menghidupi kotbahnya. Dan hidupnya sendiri adalah sebuah kotbah.
Kata-katanya mengalir. Tenang namun tegas. Pelan tapi jelas. Dan bagi saya hal ini hanya bisa terjadi pada seorang yang benar-benar telah menyatu dengan Sang Sabda. Sang Sabda tidak lagi sebatas huruf-huruf dan kata-kata. Namun kehidupan.
Persatuannya dengan Sang Sabda terungkap dalam spirit kegembalaannya. Ketika beliau menjadikan doa Sang Guru sebagai motto karya kegembalaannya, “Semoga mereka semua bersatu” – ut omnes unum sint -  semoga semua bersatu, seperti Engkau, ya Bapa, dalam Aku, dan Aku dalam Dikau, supaya mereka pun bersatu dalam kita: supaya percayalah dunia, bahwa Engkau telah mengutus aku” (Yoh17:21)

Pada akhirnya…

Adalah Sang Guru yang memulai. Membuka hati dan mengulurkan tangan, sebuah sapaan awal yang menyejukan. Hospitalita. Adalah Sang Guru yang mengajar dengan teladan. Adalah sang Guru yang menghidupi kata-katanya. Inilah Sang Cinta. Sebagaimana Dia yang menyerahkan nyawa bagi sahabat. Pada lembaran kenangan ini kutitipkan sebaris puisi buatmu yang mengajar dengan mengajak…
Barangsiapa mau menjadi guru,
biarkan dia memulai mengajar dirinya sendiri
sebelum mengajar orang lain,
dan biarkan dia mengajar dengan teladan
sebelum mengajar dengan kata-kata.
(Khalil Gibran)

Nessun commento:

Posta un commento